• (GFD-2020-8365) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Foto Bocah dalam Sangkar Ini Dibuat saat Prancis Jajah Kongo?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/11/2020

    Berita


    Foto berwarna yang menunjukkan seorang bocah laki-laki berkulit hitam berada di dalam sangkar beredar di Facebook. Di luar sangkar itu, di sisi kiri dan kanan bocah tersebut, terdapat dua anak perempuan berkulit putih yang tampak tersenyum. Foto ini diklaim dibuat pada 1955 di tengah penjajahan Prancis atas Kongo.
    Salah satu akun yang membagikan foto beserta klaim itu adalah akun Ibro Nanang, tepatnya pada 4 November 2020. Akun ini pun menulis narasi sebagai berikut:
    "KEBERHASILAN PERANCIS MENJADI TERORIS.. Foto ini dibuat pada tahun 1955 di tengah penjajahan Perancis atas Kongo.. Dalam foto tersebut seorang Ayah membawa seorang anak Afrika untuk anak-anaknya sebagai "hiburan". Perlu diketahui, bahwa Perancis berhasil membunuh 10 hingga 15 juta penduduk Kongo dalam waktu 50 tahun penjajahannya.. Perancis juga berhasil memotong ribuan tangan anak-anak di perkebunan karet dan lahan lainnya sebagai bentuk hukuman atas kegagalan sang Ayah dalam mengumpulkan jumlah karet ataupun bahan tambang lainnya. Sampai akhirnya Negara Kongo dinamakan: 'Negara Tangan Yang Terpotong'."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ibro Nanang.
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan sebanyak 150 kali dan mendapatkan lebih dari 600 reaksi dan 100 komentar. Sebagian besar komentar dalam unggahan itu berisi makian terhadap Prancis. Unggahan ini beredar di tengah protes sejumlah negara yang berpenduduk mayoritas muslim terhadap pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait Islam serta seruan boikot produk Prancis.
    Selain beredar di Indonesia, foto bocah berkulit hitam di dalam sangkar yang dikaitkan dengan Prancis tersebut juga beredar di luar negeri, seperti di Azerbaijan dan Rusia.
    Apa benar foto bocah berkulit hitam di dalam sangkar itu dibuat pada 1955 di tengah penjajahan Prancis atas Kongo?

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi Tim CekFakta Tempo menunjukkan foto asli yang memperlihatkan bocah berkulit hitam di dalam sangkar tersebut berwarna hitam-putih. Foto itu pun tidak diambil saat Prancis menjajah Kongo, melainkan saat periode Belgia Kongo atau era koloni Belgia atas Kongo. Saat ini, wilayah Kongo yang dulunya merupakan koloni Belgia bernama Republik Demokratik Kongo. Sementara wilayah Kongo yang pernah menjadi koloni Prancis kini bernama Republik Kongo.
    Untuk mendapatkan fakta tersebut, Tempo menelusuri jejak digital foto itu denganreverse image toolYandex. Lewat cara ini, ditemukan bahwa versi asli foto tersebut adalah berwarna hitam-putih. Foto itu menjadi cover buku berbahasa Belanda yang berjudul "Wit-Zwart in Zwart-Wit: samen en toch apart : foto's en verhalen uit Belgisch-Congo" karya sejarawan Paul Van Damme. Buku ini terbit pada 8 Mei 2020, dan dijual salah satunya di situs Amazon.
    Buku karya sejarawan Belgia Paul van Damme.
    Buku terbitan Borgerhoff & Lamberigts ini sejatinya berkisah tentang studi sejarah terkait hubungan antara warga kulit hitam dan kulit putih di Republik Demokratik Kongo sebelum 1960, atau saat Kongo masih menjadi koloni Belgia. Buku tersebut terbit pada 2020 untuk menandai usia kemerdekaan Republik Demokratik Kongo yang mencapai 60 tahun.
    Sepuluh foto dalam buku "Wit-Zwart in Zwart-Wit" tersebut kemudian dipublikasikan pertama kali dalam ukuran yang lebih besar oleh majalah Belgia, Knack, dengan judul "In beeld: foute foto's van 'ons Congo'" pada 21 Mei 2020. Salah satu foto memperlihatkan seorang bocah laki-laki berkulit hitam yang berada di dalam sangkar, seperti yang terdapat dalam unggahan akun Ibro Nanang. Menurut Knack, foto itu koleksi Van de Meersche dan berangka tahun 1955.
    Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai konteks foto itu, Tempo menghubungi penulis buku tersebut, Paul Van Damme, sejarawan asal Belgia. Paul menjelaskan bahwa foto tersebut milik keluarga seorang penjajah Belgia, yang diambil antara 1950-1960 di Kongo Belgia. Foto tersebut adalah koleksi Cegesoma yang beralamat di Luchtvaartsquare, Anderlecht. “Foto ini dari koloni Belgia. Dan aslinya tidak berwarna!” kata Paul melalui e-mail pada 6 November 2020.
    Menurut Paul, foto itu kemungkinan dimaksudkan sebagai foto "permainan anak-anak". Tapi fotografer tidak menyadari bahwa foto dan permainan itu salah dan rasis, seperti kolonialisme itu sendiri. Dengan menganggap hal itu normal, fotografer meneruskan persepsi amoral tentang superioritas kulit putih. “Rasisme adalah ciri khas kolonialisme. Dan sekarang, 60 tahun kemudian, rasisme masih menjadi masalah struktural,” kata pria lulusan jurusan ilmu sejarah di KU Leuven, Belgia.
    Menurut Paul, foto tersebut tidak terkait dengan apa yang terjadi di Prancis baru-baru ini. Kongo Belgia yang dimaksud adalah yang saat ini bernama Republik Demokratik Kongo. Pada 1908-1960, Republik Demokratik Kongo merupakan koloni Belgia. Sedangkan koloni Prancis adalah Kongo Brazaville, yang saat ini bernama Republik Kongo. “Sungguh mengerikan bagaimana foto ini digunakan untuk tujuan yang berbeda,” katanya.
    Republik Demokratik Kongo yang dulunya menjadi koloni Belgia. Sementara Republik Kongo, terletak di sebelah barat Republik Demokratik Kongo, adalah koloni Prancis.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "foto bocah laki-laki berkulit hitam di dalam sangkar itu dibuat pada 1955 di tengah penjajahan Prancis atas Kongo" keliru. Foto aslinya berwarna hitam-putih, dan menjadi sampul buku karya sejarawan Belgia, Paul Van Damme, yang berjudul "Wit-Zwart in Zwart-Wit: samen en toch apart : foto's en verhalen uit Belgisch-Congo". Menurut Paul, foto tersebut diambil di Republik Demokratik Kongo sebelum 1960 saat masih menjadi koloni Belgia.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8364) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Perlakuan Polisi Prancis ke Muslim yang Tak Mau Lepas Jilbab?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/11/2020

    Berita


    Video yang diklaim memperlihatkan perlakuan polisi Prancis terhadap perempuan muslim yang tidak mau melepas jilbabnya beredar di media sosial. Video ini menyebar di tengah pro-kontra soal pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait Islam sebagai respons atas pemenggalan terhadap seorang guru Prancis bernama Samuel Paty.
    Video yang berasal dari rekaman kamera CCTV ini memperlihatkan seorang polisi yang berusaha membuka penutup kepala seorang wanita. Wanita tersebut menolak. Polisi itu pun membanting wanita tersebut ke lantai dan menahan lengannya.
    Di Facebook, video beserta klaim itu dibagikan salah satunya oleh akun Herlina II, yakni pada 2 November 2020. Akun ini pun menulis, “Beginilah perlakuan biadab polisi Perancis terhadap Muslimah yg tidak mau dibuka jilbabnya, biadab sekali !! Dimana ajaran "kasih" yang kalian banggakan itu??? #TetapBoikotPerancis.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Herlina II.
    Apa benar video itu adalah video perlakuan polisi Prancis terhadap muslim yang menolak untuk melepas jilbabnya?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Lalu, gambar-gambar itu ditelusuri jejak digitalnya denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa peristiwa yang terekam kamera CCTV tersebut terjadi di Kanada pada 2017. Penutup kepala yang digunakan wanita itu pun adalah syal, bukan jilbab.
    Video yang sama pernah diunggah oleh kanal YouTube terverifikasi milik surat kabar lokal Kanada, Calgary Herald, pada 26 Oktober 2020. Video tersebut diberi judul “Shocking arrest video shown during police officer's trial”.
    Video tersebut juga pernah diunggah oleh kanal ThisIsButter pada 29 Oktober 2020. Video itu berjudul “Worst use of force': Trial begins for officer who threw handcuffed woman to ground face-first". Dalam video ini, tertera dengan jelas waktu video itu diambil, yakni 13 Desember 2017.
    Berbekal petunjuk ini, Tempo menelusuri pemberitaan terkait di mesin pencari Google. Dilansir dari Euro Weekly, rekaman kamera CCTV tersebut memperlihatkan seorang polisi di Calgary, Kanada, yang membanting seorang wanita yang sedang diborgol dalam tahanan.
    Tersangka yang dibanting itu, Dalia Kafi, sedang menunggu untuk diambil fotonya di kantor polisi ketika petugas yang bernama Alex Dunn mencoba melepaskan syal dari kepalanya. Hal ini membuat Kafi secara naluriah menjauh dari Dunn. Tapi Dunn kemudian membanting Kafi ke lantai, yang membuat hidung Kafi patah.
    Dunn pun akhirnya didakwa telah melakukan penyerangan sebagai akibat dari peristiwa tersebut. Dakwaan itu dijatuhkan pada 2019. Kini, Dunn telah kembali bekerja, tapi hanya mengerjakan tugas-tugas administratif bagi departemennya.
    Dikutip dari CBC, Dalia Kafi merupakan wanita berkulit hitam berusia 26 tahun yang ketika itu ditangkap atas tuduhan melanggar jam malam yang diperintahkan oleh pengadilan. Dia berada di unit pemrosesan penangkapan Calgary Police Service (CPS).
    Di hadapan jaksa Ryan Pollard, Kafi menuturkan bahwa dia melanggar jam malam karena lupa waktu ketika berada di rumah seorang teman untuk mengepang rambutnya pada 12 Desember 2017. Meski tidak disebutkan di pengadilan, Kafi dikenakan jam malam yang diperintahkan oleh pengadilan mulai jam 10 malam hingga jam 6 pagi.
    Temannya pun menawarkan untuk mengantarnya pulang. Tapi, dalam perjalanan, mereka dihentikan karena mobilnya menyalakan lampu kuning. Kepada polisi, Kafi memberikan nama saudara perempuannya, karena dia tahu bakal mendapatkan masalah akibat melanggar jam malam.
    Tapi akhirnya dia memberi tahu nama aslinya kepada polisi yang bernama Alex Dunn. Kafi pun ditangkap, diborgol, dan dibawa ke unit pemrosesan penangkapan. Di sana, Kafi diminta berdiri di dinding untuk difoto. Saat itu, Dunn beberapa kali mencoba melepas syal Kafi yang dikenakan di kepala.
    Lewat rekaman kamera CCTV, Kafi terlihat "menjauh" dari Dunn, seperti yang dijelaskan Pollard dalam pernyataan pembukanya di persiangan. Tapi kemudian, dengan gerakan cepat, Dunn membanting Kafi dan menghadapkannya ke tanah.
    Kepala Kafi terlihat memantul dari lantai beton. Komandan unit pemrosesan penangkapan, Gordon Macdonald, bersaksi bahwa dia tidak hanya menyaksikan kejadian itu, tapi juga mendengar suara kepala Kafi yang membentur lantai. "Hanya ada satu jenis suara ketika tulang seseorang menyentuh lantai, dan itulah yang saya dengar," katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video perlakuan polisi Prancis terhadap muslim yang menolak untuk melepas jilbabnya, keliru. Peristiwa dalam video tersebut terjadi di Calgary, Canada, pada 13 Desember 2017. Korban yang bernama Dalia Kafi dalam video itu pun tidak mengenakan jilbab, melainkan syal.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8363) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Klaim soal Museum di Prancis yang Simpan Tengkorak dari Kaum Muslim Ini?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/11/2020

    Berita


    Akun Facebook Pecinta Panji Rasulullah membagikan foto yang memperlihatkan etalase dengan tengkorak manusia yang berjajar. Tengkorak-tengkorak dalam foto itu diklaim sebagai koleksi sebuah museum di Paris, Prancis. Museum ini disebut berisi 18 ribu tengkorak manusia, yang sebagian besar adalah muslim.
    Di bawah foto tersebut, terdapat teks yang berbunyi: "Perancis marah karena kepala satu warganya dipenggal setelah menistakan Rasulullah, tapi mereka lupa telah membangun museum berisi 18.000 tengkorak manusia yang pernah mereka jajah."
    Akun ini pun menulis narasi bahwa mayoritas dari tengkorak itu adalah milik kaum muslim yang dipotong dan dikumpulkan oleh Prancis saat menjajah Aljazair dan negara lainnya. “Lalu dengan angkuh menolak untuk mengembalikan tengkorak-tengkorak tersebut kepada keluarganya.” Narasi ini diklaim berasal dari Asy Syaikh Dr. Iyad Qunaibi Hafizhahullah.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Pecinta Panji Rasulullah.
    Unggahan tersebut mirip dengan narasi yang dimuat oleh situs Portal-islam.id pada 25 Oktober 2020. Situs ini menambahkan bahwa informasi tentang tengkorak pejuang Aljazair itu diungkap oleh sejarawan Ali Farid Belkadi. Pada 2011, Belkadi membuat petisi agar Prancis memulangkan tengkorak pejuang Aljazair yang dibunuh tentara kolonial pada 1840-1850. Tengkorak-tengkorak itu ditemukan tersimpan di Musée de l'Homme, Paris.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap sejumlah klaim, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, narasi yang beredar di media sosial tersebut tidak sepenuhnya akurat. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa sebagian besar dari 18 ribu tengkorak manusia yang disimpan di sebuah museum di Paris, Prancis, adalah milik  muslim dari Aljazair dan sekitarnya. Hingga kini, belum semua tengkorak-tengkorak tersebut berhasil diidentifikasi.
    Selain itu, seorang sejarawan Aljazair menyebut jumlah tengkorak dan artefak lain dari negaranya yang berada di Prancis hanya berjumlah ratusan. Dari jumlah ini, sebanyak 24 tengkorak pejuang Aljazair yang disimpan di Prancis telah dikembalikan ke negaranya pada Juli 2020.
    Klaim soal pernyataan Iyad Qunaibi
    Iyad Qunaibi (atau Eyad Qunaibi ) yang disebut dalam unggahan akun Pecinta Panji Rasulullah adalah seorang profesor Farmakologi dari Yordania yang pernah dipenjara selama dua tahun karena mengkritik pemerintah negaranya di Facebook.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, Qunaibi memang menyatakan “Prancis marah karena satu warganya dipenggal setelah menistakan Rasulullah, tapi mereka lupa telah membangun museum berisi 18 ribu tengkorak manusia yang pernah mereka jajah”. Pernyataan itu ditulis dalam bahasa Arab di akun Facebook miliknya pada 24 Oktober 2020, dan telah dibagikan lebih dari 20 ribu kali hingga 5 November 2020.
    Pernyataan itu dibuat di tengah protes negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim terhadap pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron soal Islam dan seruan boikot produk Prancis. Protes dan seruan boikot ini muncul pasca pembunuhan seorang guru asal Prancis bernama Samuel Paty dengan cara dipenggal serta penyerangan dengan pisau di sebuah gereja di Nice, Prancis, yang menewaskan tiga orang, di mana salah satunya juga dipenggal.
    Klaim soal mayoritas tengkorak di sebuah museum di Prancis adalah milik muslim yang dipotong dan dikumpulkan saat Prancis menjajah Aljazair dan sekitarnya
    Sesuai dengan isi artikel di situs Portal-islam.id, museum yang dimaksud adalah Musée de l'Homme. Museum yang terletak di Paris ini adalah museum antropologi yang juga dikenal dengan sebutan Museum Manusia. Diresmikan pada Juni 1938, Musée de l'Homme berawal dari Museum Etnografi Trocadéro yang berdiri pada 1882-1928.
    Musée de l'Homme berfokus pada evolusi manusia dan masyarakat dengan menggabungkan pendekatan biologis, sosial, serta budaya. Musée de l’Homme adalah bagian dari Muséum National d'Histoire Naturelle (Museum Nasional Sejarah Alam) yang juga berfungsi sebagai pusat penelitian dan konservasi. Musée de l'Homme mewarisi barang-barang koleksi bersejarah yang dibuat sejak abad ke-16. Koleksi ini diperkaya selama abad ke-19, dan masih terus ditambah isinya hingga hari ini.
    Dikutip dari The Guardian, beberapa koleksi Museum Nasional Sejarah Alam memang datang dari era kolonial yang dibawa oleh penjelajah, ilmuwan, dan tentara saat Prancis berkeliling dunia. Karya-karya yang sekarang berada di museum dan menjadi koleksi Prancis konon akan tetap menjadi bagian dari warisan nasional selamanya.
    Prinsip ini ditetapkan pada 1566, ketika Dekrit Moulins menyatakan wilayah kerajaan tidak dapat dicabut dan tidak dapat dipisahkan. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, perubahan dalam keseimbangan kekuatan politik dan ekonomi internasional telah menggeser prinsip tersebut. Tuntutan restitusi atau pengembalian telah menargetkan apa pun, mulai dari karya seni hingga sisa-sisa manusia dan penemuan arkeologi.
    Selain artefak, koleksi juga mencakup tengkorak manusia. Museum Nasional Sejarah Alam memang memiliki koleksi 18 ribu tengkorak manusia, yang beberapa di antaranya telah diidentifikasi. Di tengah tuntutan restitusi atau penyerahan kembali oleh negara-negara bekas koloni Prancis, mereka menetapkan kebijakan restitusi hanya untuk tengkorak yang telah berhasil diidentifikasi.
    Klaim soal Prancis menolak mengembalikan tengkorak pejuang Aljazair ke keluarganya
    Sejak 2011, sejarawan Aljazair menuntut pengembalian tengkorak para pejuang mereka yang disimpan selama beberapa dekade di museum Paris. Tuntutan ini akhirnya dipenuhi Prancis pada Juli 2020 dengan mengembalikan 24 tengkorak pejuang Aljazair yang dipenggal selama pendudukan kolonial Prancis di negara Afrika Utara.
    Dikutip dari Aljazeera, ke-24 pejuang tersebut bertempur melawan pasukan kolonial Prancis yang menduduki Aljazair pada 1830 dan terlibat dalam pemberontakan pada 1849. Setelah kepala mereka dipenggal, tengkorak mereka dibawa ke Prancis sebagai piala.
    Restitusi ini bermula pada 2011, ketika sejarawan dan peneliti Aljazair Ali Farid Belkadi menemukan tengkorak tersebut di Museum Manusia di Paris, di seberang Menara Eiffel, dan memberi tahu pihak berwenang Aljazair. Peneliti tersebut melobi selama bertahun-tahun agar tengkorak-tengkorak itu dikembalikan, dan Presiden Aljazair saat itu, Abdelaziz Bouteflika, akhirnya membuat permintaan repatriasi resmi.
    Pada 2018, Presiden Prancis Emmanuel Macron setuju dengan hal itu. Namun, kendala birokrasi menunda pemulangan tengkorak-tengkorak tersebut hingga sekarang. Pada Desember 2019, Macron mengatakan "kolonialisme adalah kesalahan besar" dan menyerukan untuk membalik halaman di masa lalu.
    Sejarawan Mohamed El Korso menyambut baik kembalinya sisa-sisa manusia tersebut, tapi mengatakan bahwa itu hanyalah bagian dari sejarah Aljazair yang masih berada di tangan Prancis. “Kami telah memulihkan sebagian dari ingatan kami. Tapi perjuangan harus terus berlanjut, sampai semua sisa-sisa pejuang perlawanan, yang jumlahnya ratusan, dan arsip revolusi kita kembali.”

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi dalam unggahan akun Pecinta Panji Rasulullah sebagian benar. Eyad Qunaibi memang menyatakan “Prancis marah karena satu warganya dipenggal setelah menistakan Rasulullah, tapi mereka lupa telah membangun museum berisi 18 ribu tengkorak manusia yang pernah mereka jajah”. Klaim soal keberadaan 18 ribu tengkorak di sebuah museum di Prancis yang beberapa di antaranya adalah milik pejuang Aljazair juga benar.
    Namun, terdapat klaim yang tidak akurat, yakni bahwa Prancis menolak mengembalikan tengkorak pejuang Aljazair. Faktanya, Prancis di bawah kepemimpinan Presiden Emmanuel Macron telah mengembalikan 24 tengkorak pejuang Aljazair yang berada di sebuah museum di Paris pada Juli 2020. Menghubungkan kemarahan Prancis atas kasus pemenggalan kepala di negaranya dengan koleksi 18 ribu tengkorak manusia di museumnya juga tidak tepat. Tengkorak-tengkorak tersebut adalah warisan dari

    Rujukan

  • (GFD-2020-8362) [Fakta atau Hoaks] Benarkah 48 Warga Korsel Tewas usai Terima Vaksin Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 05/11/2020

    Berita


    Klaim bahwa 48 warga Korea Selatan tewas usai menerima vaksin Covid-19 beredar di media sosial. Klaim yang terdapat dalam judul artikel di blog Berita Indonwes ini, yang berbunyi “Innalilahi Wainnailahi Rojiun, 48 Orang Meninggal Usai Divaksin Corona”, beredar di tengah proses pengembangan dan uji coba klinis sejumlah vaksin Covid-19 di beberapa negara di dunia.
    Menurut artikel yang dimuat pada 2 November 2020 tersebut, jumlah itu merupakan akumulasi sejak munculnya kematian usai vaksinasi yang diumumkan otoritas Korsel pada 24 Oktober 2020. “Mengetahui kabar tersebut, otoritas Singapura bereaksi dengan menangguhkan penggunaan dua vaksin influenza, SKYCellflu Quadrivalent dan VaxigripTetra bagi warganya,” demikian narasi yang tertulis dalam artikel yang disebut bersumber dari kantor berita Reuters tersebut.
    Salah satu akun yang membagikan artikel Blog Berita Indonwes itu adalah akun Facebook Mbul Gembul, tepatnya pada 3 November 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 41 reaksi dan 39 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Mbul Gembul.
    Apa benar 48 warga Korsel tewas usai terima vaksin Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri informasi terkait dengan memasukkan kata kunci “48 people died in South Korea after receiving Covid-19 vaccine” di mesin pencari Google. Namun, tidak ditemukan berita dari media-media kredibel yang memuat informasi tersebut. Tempo juga menelusuri pemberitaan Reuters terkait kejadian itu, namun tidak ditemukan pula artikel yang menyatakan 48 warga Korsel meninggal setelah menerima vaksin Covid-19. Tempo hanya menemukan pemberitaan terkait adanya warga Korsel yang meninggal setelah menerima vaksin flu.
    Dilansir dari berita Reuters pada 24 Oktober 2020, menurut Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korsel (KDCA), jumlah warga Kosel yang meninggal setelah menerima vaksin flu telah meningkat menjadi 48 orang. Meskipun begitu, pemberian vaksin kepada warga akan tetap dilanjutkan untuk mengurangi kemungkinan terkena wabah secara bersamaan, yakni flu dan Covid-19, saat musim dingin.
    Direktur KDCA Jeong Eun-kyung mengatakan bahwa lembaganya tidak menemukan hubungan langsung antara pemberian vaksin flu dengan kematian 26 korban yang telah diselidiki. Sekitar 20 hasil otopsi awal kepolisian dan Layanan Forensik Nasional Korsel menunjukkan 13 korban meninggal karena penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit lain yang tidak disebabkan oleh vaksinasi.
    Jeong pun memaparkan tindakan pencegahan yang harus dilakukan sebelum menerima vaksin, seperti minum air yang cukup dan memberi tahu petugas kesehatan tentang kondisi medis penerima vaksin. Dia juga menyarankan penerima vaksin untuk menunggu 15-30 menit sebelum meninggalkan klinik tempat mereka disuntik vaksin. “Jika memungkinkan, dapatkan vaksin flu saat cuaca hangat, karena ada kekhawatiran bahwa suhu rendah dapat mempengaruhi penyakit kardiovaskular atau penyakit serebrovaskular,” katanya.
    Hal itu juga diberitakan oleh NY Daily News pada 26 Oktober 2020. Menurut laporan NY Daily News, Korsel akan meneruskan vaksinasi flu, mengingat 48 kematian tersebut terjadi karena penyebab lain yang tidak terkait dengan vaksin. Meskipun begitu, Singapura untuk sementara menghentikan penggunaan dua jenis vaksin flu sembari terus mengevaluasinya. Di seluruh dunia, negara-negara melakukan vaksinasi terhadap flu dengan harapan terhindar dari epidemi ganda, mengingat musim flu semakin dekat dan kasus Covid-19 semakin meningkat. 
    Dilansir dari Kompas.com pada 29 Oktober 2020, Singapura menjadi negara pertama yang mengumumkan penghentian penggunaan dua vaksin flu secara terbuka. Dua vaksin itu adalah SKYCellflu Quadrivalent dan VaxigripTetra. Hal ini dilakukan sebagai tindakan pencegahan  sekaligus meredam kepanikan publik yang muncul setelah adanya berita mengenai kematian di Korsel karena vaksinasi flu. Meskipun begitu, di Singapura, belum ada laporan kematian akibat vaksinasi flu.
    Presiden Korsel Moon Jae-in mengatakan kematian tersebut tidak berhubungan dengan vaksin flu. Menurut dia, kematian terjadi pada mereka yang berusia 60-an tahun atau lebih dengan kondisi kesehatan yang sudah mendasari sebelumnya. Asosiasi Medis Korsel sempat merekomendasikan penangguhan sementara vaksinasi flu. Namun, berdasarkan hasil investigasi dan otopsi, dari 46 kasus, kematian sama sekali tidak terkait dengan vaksin.
    Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat ( CDC ), dalam panduan di situs resminya, “Vaksin flu tidak akan melindungi diri dari Covid-19. Namun, vaksinasi flu memiliki banyak manfaat penting lainnya. Vaksin flu telah terbukti mengurangi risiko penyakit flu, rawat inap, dan kematian. Mendapatkan vaksin pada flu musim gugur ini akan menjadi lebih penting dari sebelumnya, tidak hanya untuk mengurangi risiko flu, tapi juga untuk membantu melindungi potensi kelangkaan sumber daya perawatan kesehatan.”

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa “48 warga Korsel meninggal setelah menerima vaksin Covid-19” keliru. Sebanyak 48 warga Korsel memang meninggal usai mendapatkan vaksin, tapi vaksin flu, bukan vaksin Covid-19. Meskipun begitu, menurut hasil investigasi dan otopsi otoritas Korsel, tidak ada hubungan langsung antara pemberian vaksin flu dengan kematian korban yang telah diselidiki. Sekitar 20 hasil otopsi awal menunjukkan 13 orang meninggal karena penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit lain yang tidak disebabkan oleh vaksinasi.
    SITI AISAH
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan