• (GFD-2022-10124) [SALAH] Herd Imunity, Pandemi sudah Berakhir

    Sumber: Tiktok.com
    Tanggal publish: 19/07/2022

    Berita

    “Saat ini, dengan >90% Rakyat Indonesia sudah terpajan Virus COVID19, baik dari infeksi secara langsung maupun dari Vaksinasi, artinya sudah terjadi HERD IMMUNITY.Karena itu tidak usah khawatir dan tidak perlu ragu lagi untuk menyatakan bahwa Pandemi sudah BERAKHIR.Kita kembali kepada kehidupan normal seperti sebelum tahun 2020, sebelum terjadi Pandemi.Salam sehat,Dokter Tifa#herdimmunity #pandemiberakhir #pandemicovid19 #covid19#kembalikehidupannormal #fyp”

    Hasil Cek Fakta

    Beredar video melalui akun Tiktok @doktertifa yang menjelaskan terkait herd imunity atau kekebalan komunal yang sudah dicapai rakyat Indonesia, maka tidak perlu ragu lagi untuk menyatakan bahwa pandemi sudah berkahir.

    Setelah ditelusuri, mengutip Voaindonesia.com memang benar bahwa telah dilakukan sero survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan yang bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (UI). Sero survei tersebut dilakukan di 21 kabupaten/kota dan tujuh provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogjakarta dan Bali pada akhir Maret 2022, dengan hasil setidaknya 99,2 persen masyarakat Indonesia yang tinggal di Jawa-Bali sudah memiliki antibodi COVID-19.

    Namun, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengungkapkan dengan adanya hasil sero survei tersebut bukan berarti bahwa Indonesia telah memasuki fase kekebalan komunal (Herd Imunity). Menurutnya, ada beberapa indikator yang harus dipenuhi untuk memenuhi itu seperti, cakupan vaksinasi (dua dosis) minimal harus 70 persen, kemudian kita harus lihat indikator-indikator lainnya seperti misalnya tingkat penularan atau angka reproduksi virus masih satu, harusnya di bawah satu untuk kurun waktu yang lama. Nadia melaporkan, masyarakat Indonesia yang sudah mendapatkan dua dosis vaksinasi COVID-19 baru 54 persen, sedangkan untuk Jawa-Bali sendiri baru 64 persen masih belum mencapai 70 persen sebagai syarat kekebalan komunal (Herd Imunity).

    Dikutip dari covid19.go.id level situasi pandemi di Indonesia masih berada di level 2, dengan definisi insiden sedang, kasus yang didapat secara lokal dan tersebar luas yang terdeteksi dalam 14 hari terakhir; transmisi sudah tidak terlalu terfokus pada subkelompok populasi tertentu. Risiko infeksi sedang untuk populasi umum. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 31 P/HUM/2022, juga tidak ditemukan pernyataan tentang berakhirnya pandemi Covid-19.

    Berdasarkan penjelasan di atas, klaim tentang tercapainya herd imunity dan berakhirnya pandemi adalah salah dan termasuk dalam kategori konteks yang salah.

    Kesimpulan

    Hasil periksa fakta Riza Dwi (Anggota Tim Kalimasada)

    Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengungkapkan dengan adanya hasil sero survei setidaknya 99,2 persen masyarakat Indonesia yang tinggal di Jawa-Bali sudah memiliki antibodi COVID-19, bukan berarti bahwa Indonesia telah memasuki fase kekebalan komunal (Herd Imunity). Menurutnya, ada beberapa indikator yang harus dipenuhi untuk memenuhi itu.

    Rujukan

  • (GFD-2022-10123) [SALAH] Vaksin covid-19 fungsinya untuk mengontrol manusia bukan untuk kesehatan

    Sumber: Twitter.com
    Tanggal publish: 19/07/2022

    Berita

    Beredar sebuah postingan oleh akun Twitter @dinagustavsson pada 10 Juni 2022. Postingan tersebut memperlihatkan cuplikan video pendeta yang sedang menjelaskan mengenai vaksin yang terdapat microchip 666, dengan narasi sebagai berikut:

    NARASI:
    Pendeta Lukas Sutrisno.

    Pemasangan microchip pada tubuh manusia, microchip yang dimasukkan kedalam tubuh manusia yang disuntikan melalui Vaksin covid-19 fungsinya untuk mengontrol manusia bukan untuk kesehatan.
    corona ada chip

    Hasil Cek Fakta

    Berdasarkan hasil penelusuran, klaim mengenai vaksin yang terdapat microchip 666 adalah tidak benar.

    Dilansir dari cnbcindonesia.com, Spesialis Penyakit Menular Pediatric Fakultas Kedokteran Universitas Maryland Matt Laurens mengatakan bahwa teori tersebut tidak masuk akal.

    “Kedua, microchip itu harus memiliki sumber daya yang terkait, dan selain itu, sumber daya itu harus mengirimkan sinyal melalui setidaknya satu inci otot, lemak, dan kulit ke perangkat jarak jauh, yang sekali lagi, tidak bisa. Maka teori ini tidak masuk akal”

    Informasi tersebut pernah beredar sebelumnya di awal kemunculan covid-19 di Indonesia. Salah satu artikel tersebut diverifikasi di laman turnbackhoax.id pada 7 Mei 2020 berjudul “[SALAH] menteri kesehatan America sdh menandatangani persetujuan penggunaan chip 666 untuk virus corona”. Dengan demikian, klaim vaksin terdapat microchip 666 adalah tidak benar dan masuk ke dalam konten yang menyesatkan.

    Kesimpulan

    Hasil periksa fakta Arief Putra Ramadhan.

    Spesialis Penyakit Menular Pediatric Fakultas Kedokteran Universitas Maryland Matt Laurens mengatakan bahwa teori tersebut tidak masuk akal.

    Rujukan

  • (GFD-2022-10122) [SALAH] Hati-hati program vaksin BIAS disekolah

    Sumber: Twitter.com
    Tanggal publish: 18/07/2022

    Berita

    Beredar sebuah postingan pada akun Twitter @elizabethlisa76 pada 8 Juni 2022. Postingan tersebut berisi informasi mengenai tujuan program vaksin BIAS yang tidak baik, dengan narasi sebagai berikut:

    NARASI:
    Hati2 program vaksin BIAN disekolah. Lindungi anak2 kita semuanya. Anak Indonesia harus Sehat dan Cerdas👍👍

    Hasil Cek Fakta

    Berdasarkan hasil penelusuran, program vaksim BIAS yang memiliki tujuan tidak baik tersebut adalah tidak benar.

    Vaksin BIAS adalah kegiatan imunisasi lanjut pada anak sekolah dasar. Imunisasi yang diberikan pada golongan tersebut berupa vaksin campak, difteri tetanus (DT), dan tetanus difteri (TD).

    Tujuan pemberian vaksin kepada anak ini, antara lain adalah untuk memperpanjang antibodi atau kekebalan, terutama terhadap penyakit difteri, tetanus, campak, dan rubella, karena penyakit-penyakit ini tidak hanya dapat dialami mereka ketika masih bayi tetapi juga bisa terjadi saat mereka di usia sekolah.

    Dilansir dari health.detik.com, pemerintah menyelenggarakan imunisasi BIAS karena merasa imunisasi waktu bayi belum cukup untuk melindungi penyakit PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi) bagi usia anak sekolah. Hal ini didasarkan adanya penurunan terhadap kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi.

    Dengan demikian informasi yang beredar pada akun Twitter @elizabethlisa76 adalah tidak benar dan masuk ke dalam kategori konten yang menyesatkan.

    Kesimpulan

    Hasil periksa fakta Arief Putra Ramadhan.

    Vaksin BIAS adalah kegiatan imunisasi lanjut pada anak sekolah dasar. Tujuan pemberian vaksin kepada anak ini, antara lain adalah untuk memperpanjang antibodi atau kekebalan.

    Rujukan

  • (GFD-2022-10121) [SALAH] Eksperimen simpanse dan anak dihentikan karena anak meniru tingkah monyet

    Sumber: Instagram.com
    Tanggal publish: 18/07/2022

    Berita

    Beredar sebuah postingan foto oleh akun Instagram @wrongarea pada 19 Juni 2022. Postingan tersebut menunjukan foto eksperimen simpanse dan anak yang dihentikan karena tingkah sang anak justru meniru perilaku simpanse tersebut, dengan narasi sebagai berikut:

    NARASI:
    “Malah kebalik”

    Hasil Cek Fakta

    Berdasarkan hasil penelusuran, eksperimen tersebut bukan dihentikan karena tingkah anak yang meniru simpanse.

    Ide eksperimen tersebut muncul dari Winthrop Niles Kellogg yang merupakan psikolog komparatif Amerika yang mempelajari perilaku sejumlah spesies hewan cerdas. Ketika selama masa kelulusannya di Columbia, dan diperkirakan ide tersebut dipicu oleh sebuah artikel tentang ” anak- anak serigala ” di India. Kellogg mengusulkan untuk membesarkan bayi simpanse dengan putranya yang masih bayi bernama Donald.

    Namun eksperimen tersebut tidak memenuhi harapan Kellogg, dengan alasan simpanse tersebut tidak berusaha untuk berkomunikasi melalui bahasa manusia. Eksperimen dihentikan setelah terlihat keterbatasan struktur tubuh dan otak dari anak simpanse tersebut untuk membatasi perilaku simpanse meniru tingkah laku anak manusia. Setelah sembilan bulan bekerja, studi berakhir pada musim semi 1932.

    Dengan demikian, eksperimen yang dihentikan karena tingkah anak yang meniru simpanse adalah salah, sehingga masuk ke dalam kategori konteks yang salah.

    Kesimpulan

    Hasil periksa fakta Arief Putra Ramadhan

    Eksperimen dihentikan bukan karena tingkah anak yang meniru simpanse, melainkan karena keterbatasan struktur tubuh dan otak dari anak simpanse tersebut untuk membatasi perilaku simpanse meniru tingkah laku anak manusia.

    Rujukan