Jakarta: Calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan dalam debat terakhir Pilpres 2024menyebut sebanyak 1,6 juta guru belum tersertifikasi.
Hal itu disampaikannya dalam Debat Capres bertema Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan Jakarta pada Minggu, 4 Februari 2024.
"Ada puluhan ribu guru honorer belum diangkat jadi guru PPPK (Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja) ada 1,6 juta guru belum tersertifikasi," kata Anies dalam debat kelima Pilpres di JCC Senayan Jakarta, Minggu, 4 Februari 2024.
Lantas apakah klaim tersebut benar? Berikut cek faktanya .
(GFD-2024-19659) Cek Fakta: Anies Klaim 1,6 Juta Guru Belum Tersertifikasi, Ini Faktanya
Sumber:Tanggal publish: 04/02/2024
Berita
Hasil Cek Fakta
Dari hasil penelusuran cek fakta tim Medcom.id , klaim Anies Baswedan yang mengklaim sebanyak 1,6 juta guru belum tersertifikasi adalah benar. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengakui sebanyak 1,6 juta guru belum menerima penghasilan yang layak.
Kepala Badan Standar, Kurikulum & Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan hal itu terjadi lantaran mereka masih menunggu sertifikasi program pendidikan profesi guru (PPG) sebagai syarat memperoleh tunjangan profesi guru (TPG).
"Masih ada sekitar 1,6 juta guru yang belum menerima penghasilan yang layak karena mereka masih antre untuk mendapatkan sertifikasi," kata Anindito.
Nadiem Makarim berjanji lewat RUU Sisdiknas, seluruh guru bisa menerima TPG tanpa harus dibuktikan dengan sertifikasi melalui program PPG yang waktu tunggunya membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun.
“Jika RUU Sisdiknas ini diloloskan, mereka akan bisa langsung menerima tunjangan tanpa harus menunggu proses sertifikasi dan mengikuti program PPG yang antreannya panjang," kata Nadiem melalui kanal YouTube Kemendikbud RI.
Kepala Badan Standar, Kurikulum & Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan hal itu terjadi lantaran mereka masih menunggu sertifikasi program pendidikan profesi guru (PPG) sebagai syarat memperoleh tunjangan profesi guru (TPG).
"Masih ada sekitar 1,6 juta guru yang belum menerima penghasilan yang layak karena mereka masih antre untuk mendapatkan sertifikasi," kata Anindito.
Nadiem Makarim berjanji lewat RUU Sisdiknas, seluruh guru bisa menerima TPG tanpa harus dibuktikan dengan sertifikasi melalui program PPG yang waktu tunggunya membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun.
“Jika RUU Sisdiknas ini diloloskan, mereka akan bisa langsung menerima tunjangan tanpa harus menunggu proses sertifikasi dan mengikuti program PPG yang antreannya panjang," kata Nadiem melalui kanal YouTube Kemendikbud RI.
Kesimpulan
Klaim yang disebut Anies Baswedan yang menyebut 1,6 juta guru belum tersertifikasi adalah benar. Dimana penilaian ini diberikan saat berbagai sumber terpercaya menginformasi klaim/informasi yang valid.
Rujukan
(GFD-2024-19658) Cek Fakta: Prabowo Sebut Angka Kematian Ibu saat Melahirkan Masuk Daftar 10 Tertinggi di Dunia
Sumber:Tanggal publish: 04/02/2024
Berita
Jakarta: Calon Presiden Nomor Urut 2 Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam 10 negara tertinggi dengan kematian ibu saat melahirkan.
Hal itu disampaikannya dalam Debat Capres bertema Teknologi Informasi, Peningkatan Pelayanan Publik, Hoaks, Intoleransi, Pendidikan, Kesehatan (Post-COVID Society), dan Ketenagakerjaan di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Minggu, 4 Februari 2024.
"Kita harus kurangi secara drastis angka kematian ibu yang kita termasuk 10 negara tertinggi angka kematian ibu pada saat melahirkan," kata Prabowo di lokasi.
Lantas, apakah klaim tersebut benar? Berikut cek faktanya.
Hal itu disampaikannya dalam Debat Capres bertema Teknologi Informasi, Peningkatan Pelayanan Publik, Hoaks, Intoleransi, Pendidikan, Kesehatan (Post-COVID Society), dan Ketenagakerjaan di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Minggu, 4 Februari 2024.
"Kita harus kurangi secara drastis angka kematian ibu yang kita termasuk 10 negara tertinggi angka kematian ibu pada saat melahirkan," kata Prabowo di lokasi.
Lantas, apakah klaim tersebut benar? Berikut cek faktanya.
Hasil Cek Fakta
Dari hasil penelusuran cek fakta tim Medcom.id , klaim Prabowo bahwa Indonesia masuk dalam daftar 10 negara tertinggi terkait angka kematian ibu saat melahirkan, adalah sebagian benar.
Data yang dirilis pada 2020, Indonesia masuk dalam daftar negara dengan angka kematian ibu saat melahirkan. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan ke-5 di bawah Myanmar, Papua Nugini, Timor Leste dan tertinggi, Kamboja.
Namun secara global Indonesia tidak masuk dalam sepuluh besar. Indonesia berada di urutan ke-52. Sementara yang tertinggi, yakni Sudan Selatan.
Data yang dirilis pada 2020, Indonesia masuk dalam daftar negara dengan angka kematian ibu saat melahirkan. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan ke-5 di bawah Myanmar, Papua Nugini, Timor Leste dan tertinggi, Kamboja.
Namun secara global Indonesia tidak masuk dalam sepuluh besar. Indonesia berada di urutan ke-52. Sementara yang tertinggi, yakni Sudan Selatan.
Kesimpulan
Klaim Prabowo bahwa Indonesia masuk dalam daftar 10 negara tertinggi terkait angka kematian ibu saat melahirkan, adalah sebagian benar
Penilaian ini diberikan saat berbagai sumber tepercaya menginformasi klaim atau informasi yang valid.
Penilaian ini diberikan saat berbagai sumber tepercaya menginformasi klaim atau informasi yang valid.
Rujukan
(GFD-2024-19657) [HOAKS] Foto Ikan Raksasa di Danau Hogganfield pada 1930
Sumber:Tanggal publish: 07/05/2024
Berita
KOMPAS.com - Beredar foto ikan raksasa di Danau Hogganfield, Glasgow, Inggris yang diklaim dipotret pada 1930.
Dalam foto, tampak orang-orang berkumpul di sekeliling ikan raksasa yang dijuluki Hoggie itu.
Berdasarkan hasil penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi dalam foto tidak benar atau hoaks.
Foto ikan raksasa di Danau Hogganfield disebarkan oleh akun Threads ini, ini, dan ini.
Berikut narasi yang ditulis salah satu pengguna Threads, pada Jumat (3/5/2024):
Foto terkenal yang diambil pada hari ini pada tahun 1930 dari “Hoggie”, monster legendaris Hogganfield Loch yang akhirnya diambil setelah bertahun-tahun masyarakat meragukan keberadaannya.
Foto serupa juga ditemukan di akun Facebook ini, ini, dan Twitter ini.
Dalam foto, tampak orang-orang berkumpul di sekeliling ikan raksasa yang dijuluki Hoggie itu.
Berdasarkan hasil penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi dalam foto tidak benar atau hoaks.
Foto ikan raksasa di Danau Hogganfield disebarkan oleh akun Threads ini, ini, dan ini.
Berikut narasi yang ditulis salah satu pengguna Threads, pada Jumat (3/5/2024):
Foto terkenal yang diambil pada hari ini pada tahun 1930 dari “Hoggie”, monster legendaris Hogganfield Loch yang akhirnya diambil setelah bertahun-tahun masyarakat meragukan keberadaannya.
Foto serupa juga ditemukan di akun Facebook ini, ini, dan Twitter ini.
Hasil Cek Fakta
Tim Cek Fakta Kompas.com tidak menemukan informasi, laporan, berita, atau foto lain yang mendukung penemuan ikan raksasa di Danau Hogganfield.
Sementara, hasil reverse image search di TinEye menunjukkan, foto itu baru beredar pada 2023.
Selain itu, terdapat beberapa kejanggalan dari foto yang beredar, terutama pada penampakan orang-orang dalam foto.
Apabila dicermati, wajah orang-orang dalam foto tampak buram, tidak simetris, bahkan memiliki bentuk yang aneh.
Ini merupakan ciri dari foto rekayasa yang dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Untuk membuktikannya, Tim Cek Fakta Kompas.com menggunakan tools pendeteksi gambar AI yang dikembangkan Hive Moderation.
Hasilnya, gambar tersebut diidentifikasi 99,9 persen merupakan rekayasa atau buatan AI.
Sementara, hasil reverse image search di TinEye menunjukkan, foto itu baru beredar pada 2023.
Selain itu, terdapat beberapa kejanggalan dari foto yang beredar, terutama pada penampakan orang-orang dalam foto.
Apabila dicermati, wajah orang-orang dalam foto tampak buram, tidak simetris, bahkan memiliki bentuk yang aneh.
Ini merupakan ciri dari foto rekayasa yang dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Untuk membuktikannya, Tim Cek Fakta Kompas.com menggunakan tools pendeteksi gambar AI yang dikembangkan Hive Moderation.
Hasilnya, gambar tersebut diidentifikasi 99,9 persen merupakan rekayasa atau buatan AI.
Kesimpulan
Foto ikan raksasa di Danau Hogganfield, Glasgow, Inggris, pada 1930 merupakan manipulasi. Hive Moderation mengidentifikasi foto tersebut 99,9 persen merupakan rekayasa AI.
Rujukan
- https://www.threads.net/@historicillustrations/post/C6escjOszc3
- https://www.threads.net/@itongabrian/post/C6gYTNfNFDC
- https://www.threads.net/@bowl_of_stu/post/Cx0G4sSKB6S
- https://www.facebook.com/photo/?fbid=296130283169796&set=a.127715180011308
- https://www.facebook.com/photo/?fbid=651370177092501&set=a.426710322891822
- https://twitter.com/fopminui/status/1719776485483978876/photo/1
- https://tineye.com/search/9695e7d776b839a25b85d9546d9e74eaf3a8939f?sort=crawl_date&order=asc&page=1
- https://hivemoderation.com/ai-generated-content-detection
- https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D
(GFD-2024-19656) CEK FAKTA: Benarkah Perubahan Iklim Sebabkan Kasus DBD Meningkat?
Sumber:Tanggal publish: 07/05/2024
Berita
KOMPAS.com - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengatakan, perubahan iklim menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus demam berdarah dengue (DBD).
"Perubahan iklim tak hanya membebani pelayanan kesehatan, karena membuat kasus semakin naik dan naik, tetapi kami juga menimbang bahwa perubahan iklim akan membebani sistem kesehatan. Sebagai contoh, kekeringan," kata Imran, dalam Arbovirus Summit di Bali, pada 22 April 2024.
Pernyataan Imran didokumentasikan di kanal YouTube Kemenkes RI pada jam ke-5 menit ke-58.
Imran menggambarkan, ketika desa diterpa kekeringan, maka masyarakat pindah ke kota. Kemudian, kota akan semakin padat dan dapat membuat kasus semakin naik.
Lantas, benarkah pernyataan tersebut?
Salah satu perubahan iklim terkait DBD adalah meningkatnya suhu global.
Berdasarkan informasi di jurnal kesehatan The Lancet, meningkatnya suhu global antara tahun 1950 sampai 2018 turut meningkatkan kesesuaian iklim untuk penularan virus dengue oleh vektor nyamuk Aedes aegypti.
Peneliti kesehatan publik Universitas Airlangga, Ilham Akhsanu Ridlo menyampaikan, ketika suhu terus meningkat, lebih banyak daerah akan menjadi tempat yang layak huni bagi nyamuk.
Sehingga, peningkatan suhu juga memperluas jangkauan geografis penularan demam berdarah.
Sementara, perubahan iklim berupa peningkatan curah hujan, kejadian banjir, dan perubahan pola musim juga dapat meningkatkan populasi nyamuk dan penularan demam berdarah.
Hal ini terbukti dalam studi yang dilakukan di Argentina. Studi menunjukkan korelasi yang jelas antara tren positif dalam suhu dan keberadaan serta peningkatan kasus DBD.
Studi tersebut memaparkan jumlah hari dan bulan dengan suhu optimal untuk penularan demam berdarah yang meningkat dari waktu ke waktu.
Sementara di Indonesia, studi ekologi spasial di Sumatera dan Kalimantan pada 2006-2016 menunjukkan, kejadian DBD sangat bersifat musiman dan terkait dengan faktor iklim dan deforestasi.
"Penelitian ini lebih jauh memerlukan telaah lanjut untuk menggabungkan indikator iklim ke dalam surveilans berbasis risiko mungkin diperlukan untuk demam berdarah di Indonesia," kata Ilham.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan bahwa pemanasan global dengan suhu rata-rata lebih tinggi, curah hujan, dan periode kekeringan yang lebih lama dapat memicu jumlah infeksi demam berdarah di seluruh dunia.
Selain faktor iklim, faktor pendorong lain seperti urbanisasi, peningkatan pergerakan orang dan barang, serta tekanan terhadap air dan sanitasi juga berkontribusi terhadap penyebaran demam berdarah.
Namun, perubahan iklim dianggap sebagai faktor utama yang mendorong peningkatan dramatis kasus demam berdarah secara global dalam beberapa dekade terakhir.
Bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa perubahan iklim, melalui dampaknya terhadap suhu, curah hujan, dan faktor lingkungan lainnya, merupakan pendorong utama di balik meningkatnya insiden dan penyebaran geografis DBD.
Penelitian lain terkait isu ini diterbitkan pada 2022, mengenai studi retrospektif perubahan iklim yang memengaruhi DBD.
Studi lain pada 2023 membahas soal bagaimana perubahan iklim berpengaruh terhadap DBD.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa perubahan iklim mengakibatkan meningkatnya penyebaran dan kasus DBD.
Namun, perpindahan masyarakat ke kota bukan penyebab utama, ada faktor lain seperti meningkatnya suhu dan curah hujan yang memengaruhi kembang biak nyamuk.
***
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
"Perubahan iklim tak hanya membebani pelayanan kesehatan, karena membuat kasus semakin naik dan naik, tetapi kami juga menimbang bahwa perubahan iklim akan membebani sistem kesehatan. Sebagai contoh, kekeringan," kata Imran, dalam Arbovirus Summit di Bali, pada 22 April 2024.
Pernyataan Imran didokumentasikan di kanal YouTube Kemenkes RI pada jam ke-5 menit ke-58.
Imran menggambarkan, ketika desa diterpa kekeringan, maka masyarakat pindah ke kota. Kemudian, kota akan semakin padat dan dapat membuat kasus semakin naik.
Lantas, benarkah pernyataan tersebut?
Salah satu perubahan iklim terkait DBD adalah meningkatnya suhu global.
Berdasarkan informasi di jurnal kesehatan The Lancet, meningkatnya suhu global antara tahun 1950 sampai 2018 turut meningkatkan kesesuaian iklim untuk penularan virus dengue oleh vektor nyamuk Aedes aegypti.
Peneliti kesehatan publik Universitas Airlangga, Ilham Akhsanu Ridlo menyampaikan, ketika suhu terus meningkat, lebih banyak daerah akan menjadi tempat yang layak huni bagi nyamuk.
Sehingga, peningkatan suhu juga memperluas jangkauan geografis penularan demam berdarah.
Sementara, perubahan iklim berupa peningkatan curah hujan, kejadian banjir, dan perubahan pola musim juga dapat meningkatkan populasi nyamuk dan penularan demam berdarah.
Hal ini terbukti dalam studi yang dilakukan di Argentina. Studi menunjukkan korelasi yang jelas antara tren positif dalam suhu dan keberadaan serta peningkatan kasus DBD.
Studi tersebut memaparkan jumlah hari dan bulan dengan suhu optimal untuk penularan demam berdarah yang meningkat dari waktu ke waktu.
Sementara di Indonesia, studi ekologi spasial di Sumatera dan Kalimantan pada 2006-2016 menunjukkan, kejadian DBD sangat bersifat musiman dan terkait dengan faktor iklim dan deforestasi.
"Penelitian ini lebih jauh memerlukan telaah lanjut untuk menggabungkan indikator iklim ke dalam surveilans berbasis risiko mungkin diperlukan untuk demam berdarah di Indonesia," kata Ilham.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan bahwa pemanasan global dengan suhu rata-rata lebih tinggi, curah hujan, dan periode kekeringan yang lebih lama dapat memicu jumlah infeksi demam berdarah di seluruh dunia.
Selain faktor iklim, faktor pendorong lain seperti urbanisasi, peningkatan pergerakan orang dan barang, serta tekanan terhadap air dan sanitasi juga berkontribusi terhadap penyebaran demam berdarah.
Namun, perubahan iklim dianggap sebagai faktor utama yang mendorong peningkatan dramatis kasus demam berdarah secara global dalam beberapa dekade terakhir.
Bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa perubahan iklim, melalui dampaknya terhadap suhu, curah hujan, dan faktor lingkungan lainnya, merupakan pendorong utama di balik meningkatnya insiden dan penyebaran geografis DBD.
Penelitian lain terkait isu ini diterbitkan pada 2022, mengenai studi retrospektif perubahan iklim yang memengaruhi DBD.
Studi lain pada 2023 membahas soal bagaimana perubahan iklim berpengaruh terhadap DBD.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa perubahan iklim mengakibatkan meningkatnya penyebaran dan kasus DBD.
Namun, perpindahan masyarakat ke kota bukan penyebab utama, ada faktor lain seperti meningkatnya suhu dan curah hujan yang memengaruhi kembang biak nyamuk.
***
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Hasil Cek Fakta
Rujukan
- https://www.youtube.com/watch?v=XziVTXPK8yE
- https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)32290-X/abstract
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10208431/
- https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/tmi.13248
- https://news.un.org/en/story/2023/07/1138962
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9197220/
- https://www.bmj.com/content/382/bmj.p1690
- https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D
Halaman: 2732/7024




