Seorang pengguna twitter mengumumkan bahwa masyarakat cukup menggunakan e-KTP untuk menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara (TPS).
Narasi:
Benarkah nyobolos pileg 2019 pindah kota tanpa a5 cukup dengan e ktp
(GFD-2019-1822) Cukup Tunjukan E-KTP Untuk Gunakan Hak Suara di TPS
Sumber: twitter.comTanggal publish: 16/04/2019
Berita
Hasil Cek Fakta
Dari penelusuran, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuka ruang digunakannya KTP untuk memilih, namun tetap dengan persyaratan yang ketat.
Seperti harus disertai dengan kartu keluarga, memilih di TPS sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP, dan mendaftarkan diri kepada KPPS yang dilakukan satu jam sebelum selesai pemungutan suara.
Fakta ini sebagaimana dikutip dari Liputan6.com dalam artikel berjudul 'MK Nyatakan Aturan E-KTP sebagai Syarat Memilih Pemilu Inkonstitusional'.
Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menyatakan, kepemilikan e-KTP sebagai syarat utama memilih dalam Pemilu 2019 sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 (UU Pemilu) adalah inkonstitusional bersyarat.
"Menyatakan frasa 'kartu tanda penduduk elektronik' dalam Pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (28/3/2019) seperti dilansir Antara.
Aturan tersebut dinyatakan mahkamah sebagai inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Termasuk pula surat keterangan (suket) perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu."
Pada pertimbangan mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra, mahkamah menjelaskan, hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara sehingga tidak boleh dibatasi, disimpangi, ditiadakan, dan dihapus.
Mahkamah menimbang keberadaan KTP, paspor, atau identitas lain untuk menggunakan hak memilih adalah solusi terhadap masalah tidak terdaftarnya pemilih dalam DPT Pemilu 2019, sehingga pada saat yang bersamaan penggunaan identitas tersebut menjadi cara lain untuk menyelamatkan hak memilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT.
Meskipun Mahkamah membuka ruang digunakannya KTP untuk memilih, namun tetap dengan persyaratan yang ketat seperti harus disertai dengan kartu keluarga, memilih di TPS sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP, dan mendaftarkan diri kepada KPPS yang dilakukan satu jam sebelum selesai pemungutan suara.
"Dengan syarat-syarat dimaksud Mahkamah tetap memosisikan bahwa akuntabilitas setiap pemilih yang memberikan suara dalam pemilu tetap harus dijaga," tambah Saldi.
Artinya segala peluang terjadinya kecurangan akibat longgarnya syarat bagi seseorang untuk dapat menggunakan hak memilihnya harus ditutupi, sehingga tidak mengabaikan aspek kehati-hatian terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan yang dapat mengganggu terlaksananya pemilu.
Kendati demikian mahkamah tetap pada keyakinan bahwa syarat minimal bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah memiliki KTP-el sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan.
Namun bila KTP-el tersebut belum dimiliki, sementara yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih maka sebelum KTP-el diperoleh, yang bersangkutan dapat memakai atau menggunakan surat keterangan perekaman KTP-el dari dinas urusan kependudukan dan catatan sipil instansi terkait sebagai pengganti KTP-el.
"Sehubungan dengan pertimbangan hukum tersebut, penting bagi Mahkamah mengingatkan pemerintah untuk mempercepat proses perekaman KTP-el bagi warga negara yang belum melakukan perekaman, lebih-lebih yang telah memiliki hak pilih, agar dapat direalisasikan sebelum hari pemungutan suara," ujar Saldi.
Sementara untuk waktu pemungutan suara di TPS, pemilih perlu memperhatikan aturan yang telah dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga pemilih tidak terlambat ketika tiba di TPS.
Berikut tata cara dan jadwal pemungutan suara di Indonesia seperti dikutip dari Liputan6.com dengan judul artikel 'Jadwal Pencoblosan Pemilu hingga Aturan bila Surat Suara Habis'.
Liputan6.com - Jakarta Pemungutan suara pemilu serentak dilakukan pada 17 April 2019. Jadwal pencoblosan surat suara dimulai pukul 07.00 WIB hingga 13.00 WIB dan langsung dilanjutkan dengan penghitungan suara sampai selesai.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Pasal 40 ayat 1 Nomor 9 Tahun 2019, publik yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dapat menggunakan suaranya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) atau surat keterangan.
"Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberikan suara 1 jam sebelum waktu pemungutan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara) berakhir," tertulis dalam PKPU.
Lalu, untuk menghindari kecurangan atau pemilih asing, mereka yang masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) ini hanya bisa memberikan suara di TPS sesuai alamat tinggal. Ketersediaan suara juga dipertimbangkan.
Apabila surat suara habis, pemilih akan langsung diarahkan ke TPS terdekat. TPS ini harus satu wilayah kerja dengan panitia pemungutan suara sesuai alamat tinggal pemilih.
Jika di satu tempat tersebut juga habis, pemilih akan diarahkan ke TPS lain pada kelurahan atau desa yang sama. Setelah waktu sudah menunjukkan 13.00 WIB, waktu setempat, panitia di TPS akan mengumumkan waktu pemungutan telah habis.
Mereka masih bisa memilih melewati waktu jika sedang menunggu gilirannya untuk memberikan suara dan sudah dicatat kehadirannya oleh panitia atau petugas di TPS.
"Telah hadir dan sedang dalam antrean untuk mencatatkan kehadirannya dalam formulir," tulis Pasal 46.
Dalam artikel Bisakah Mencoblos di Kota Lain yang Berbeda dengan Alamat E-KTP Tanpa A5? Ini Jawabannya yang dimuat Kompas.com dijelaskan bahwa pemilih harus membawa e-KTP sebagai salah satu syarat mencoblos di TPS yang sesuai dengan alamat yang tercantum pada e-KTP.
"Pemilih yang merantau atau tidak berada di alamat yang tercantum di e-KTP saat hari pemungutan suara tidak bisa hanya menggunakan e-KTP untuk mencoblos.
Pemilih yang merantau hanya bisa menggunakan hak pilih di TPS di wilayah rantau dengan menggunakan formulir A5 yang diperoleh dari prosedur pindah memilih atau pindah TPS. "Iya, (pemilih yang merantau) tak bisa gunakan e-KTP. Harus mengurus A5," kata komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ilham Saputra, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/4/2019). Layanan pindah memilih telah ditutup pada 10 April 2019. Dengan demikian, pemilih yang belum mengurusnya pada batas waktu itu tidak bisa lagi mendapatkan formulir A5."
Seperti harus disertai dengan kartu keluarga, memilih di TPS sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP, dan mendaftarkan diri kepada KPPS yang dilakukan satu jam sebelum selesai pemungutan suara.
Fakta ini sebagaimana dikutip dari Liputan6.com dalam artikel berjudul 'MK Nyatakan Aturan E-KTP sebagai Syarat Memilih Pemilu Inkonstitusional'.
Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menyatakan, kepemilikan e-KTP sebagai syarat utama memilih dalam Pemilu 2019 sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 (UU Pemilu) adalah inkonstitusional bersyarat.
"Menyatakan frasa 'kartu tanda penduduk elektronik' dalam Pasal 348 ayat (9) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (28/3/2019) seperti dilansir Antara.
Aturan tersebut dinyatakan mahkamah sebagai inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Termasuk pula surat keterangan (suket) perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu."
Pada pertimbangan mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra, mahkamah menjelaskan, hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara sehingga tidak boleh dibatasi, disimpangi, ditiadakan, dan dihapus.
Mahkamah menimbang keberadaan KTP, paspor, atau identitas lain untuk menggunakan hak memilih adalah solusi terhadap masalah tidak terdaftarnya pemilih dalam DPT Pemilu 2019, sehingga pada saat yang bersamaan penggunaan identitas tersebut menjadi cara lain untuk menyelamatkan hak memilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT.
Meskipun Mahkamah membuka ruang digunakannya KTP untuk memilih, namun tetap dengan persyaratan yang ketat seperti harus disertai dengan kartu keluarga, memilih di TPS sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP, dan mendaftarkan diri kepada KPPS yang dilakukan satu jam sebelum selesai pemungutan suara.
"Dengan syarat-syarat dimaksud Mahkamah tetap memosisikan bahwa akuntabilitas setiap pemilih yang memberikan suara dalam pemilu tetap harus dijaga," tambah Saldi.
Artinya segala peluang terjadinya kecurangan akibat longgarnya syarat bagi seseorang untuk dapat menggunakan hak memilihnya harus ditutupi, sehingga tidak mengabaikan aspek kehati-hatian terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan yang dapat mengganggu terlaksananya pemilu.
Kendati demikian mahkamah tetap pada keyakinan bahwa syarat minimal bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah memiliki KTP-el sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan.
Namun bila KTP-el tersebut belum dimiliki, sementara yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih maka sebelum KTP-el diperoleh, yang bersangkutan dapat memakai atau menggunakan surat keterangan perekaman KTP-el dari dinas urusan kependudukan dan catatan sipil instansi terkait sebagai pengganti KTP-el.
"Sehubungan dengan pertimbangan hukum tersebut, penting bagi Mahkamah mengingatkan pemerintah untuk mempercepat proses perekaman KTP-el bagi warga negara yang belum melakukan perekaman, lebih-lebih yang telah memiliki hak pilih, agar dapat direalisasikan sebelum hari pemungutan suara," ujar Saldi.
Sementara untuk waktu pemungutan suara di TPS, pemilih perlu memperhatikan aturan yang telah dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga pemilih tidak terlambat ketika tiba di TPS.
Berikut tata cara dan jadwal pemungutan suara di Indonesia seperti dikutip dari Liputan6.com dengan judul artikel 'Jadwal Pencoblosan Pemilu hingga Aturan bila Surat Suara Habis'.
Liputan6.com - Jakarta Pemungutan suara pemilu serentak dilakukan pada 17 April 2019. Jadwal pencoblosan surat suara dimulai pukul 07.00 WIB hingga 13.00 WIB dan langsung dilanjutkan dengan penghitungan suara sampai selesai.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Pasal 40 ayat 1 Nomor 9 Tahun 2019, publik yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dapat menggunakan suaranya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) atau surat keterangan.
"Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberikan suara 1 jam sebelum waktu pemungutan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara) berakhir," tertulis dalam PKPU.
Lalu, untuk menghindari kecurangan atau pemilih asing, mereka yang masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) ini hanya bisa memberikan suara di TPS sesuai alamat tinggal. Ketersediaan suara juga dipertimbangkan.
Apabila surat suara habis, pemilih akan langsung diarahkan ke TPS terdekat. TPS ini harus satu wilayah kerja dengan panitia pemungutan suara sesuai alamat tinggal pemilih.
Jika di satu tempat tersebut juga habis, pemilih akan diarahkan ke TPS lain pada kelurahan atau desa yang sama. Setelah waktu sudah menunjukkan 13.00 WIB, waktu setempat, panitia di TPS akan mengumumkan waktu pemungutan telah habis.
Mereka masih bisa memilih melewati waktu jika sedang menunggu gilirannya untuk memberikan suara dan sudah dicatat kehadirannya oleh panitia atau petugas di TPS.
"Telah hadir dan sedang dalam antrean untuk mencatatkan kehadirannya dalam formulir," tulis Pasal 46.
Dalam artikel Bisakah Mencoblos di Kota Lain yang Berbeda dengan Alamat E-KTP Tanpa A5? Ini Jawabannya yang dimuat Kompas.com dijelaskan bahwa pemilih harus membawa e-KTP sebagai salah satu syarat mencoblos di TPS yang sesuai dengan alamat yang tercantum pada e-KTP.
"Pemilih yang merantau atau tidak berada di alamat yang tercantum di e-KTP saat hari pemungutan suara tidak bisa hanya menggunakan e-KTP untuk mencoblos.
Pemilih yang merantau hanya bisa menggunakan hak pilih di TPS di wilayah rantau dengan menggunakan formulir A5 yang diperoleh dari prosedur pindah memilih atau pindah TPS. "Iya, (pemilih yang merantau) tak bisa gunakan e-KTP. Harus mengurus A5," kata komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ilham Saputra, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/4/2019). Layanan pindah memilih telah ditutup pada 10 April 2019. Dengan demikian, pemilih yang belum mengurusnya pada batas waktu itu tidak bisa lagi mendapatkan formulir A5."
Kesimpulan
Kabar soal pengguaan e-KTP ketika ingin mencoblos di TPS ternyata tidak sepenuhnya benar.
Berdasarkan aturan dari KPU, penggunaan e-KTP hanya berlaku untuk di TPS yang sesuai dengan domisili, bukan di kota lain.
Berdasarkan aturan dari KPU, penggunaan e-KTP hanya berlaku untuk di TPS yang sesuai dengan domisili, bukan di kota lain.
Rujukan
(GFD-2019-1821) Exit Poll Luar Negeri di Beberapa Negara Prabowo-Sandi Menang
Sumber: twitter.comTanggal publish: 16/04/2019
Berita
Beredarnya informasi tentang hasil Exit Poll luar negeri di beberapa negara bahwa paslon capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandi menang
Hasil Cek Fakta
CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali menjelaskan tentang pengertian exit poll yang juga merupakan bagian dari survei. Kata dia, Exit poll berbeda dengan quick count dan real count.
Ia mengatakan exil poll selalu dilakukan beberapa saat setelah pemilih telah menyalurkan pilihan politiknya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sementara itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bantah beredarnya hasil exit poll dari pemungutan suara pemilu 2019 di luar negeri. KPU menegaskan bahwa pihaknya hanya mengatur regulasi tersebut di pemilu dalam negeri.
"Yang kami atur adalah exit poll di dalam negeri. Sudah diatur demikian, dua jam setelah pencoblosan selesai," ujar Viryan Azis di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Senin 15 April 2019.
"Exit poll itu kan pendekatannya berbasis kepada regulasi dengan pengaturan waktu di dalam negeri," imbuhnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menyatakan, metode penghitungan exit poll memiliki kelemahan jika dilakukan di luar negeri. Pasalnya, pencoblosan di luar negeri tidak semua dilakukan melalui TPS, tapi juga melalui pos dan kotak suara keliling (KSK).
"Mungkin saja, tapi hanya untuk TPS, kalau metode pos, siapa yang ditanya. Kan baru dihitung nanti bareng-bareng tanggal 17 April. Metode KSK juga nanti dihitung tanggal 17," ucap Hasyim kepada wartawan, Senin 15 April 2019.
Ia mengatakan exil poll selalu dilakukan beberapa saat setelah pemilih telah menyalurkan pilihan politiknya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sementara itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bantah beredarnya hasil exit poll dari pemungutan suara pemilu 2019 di luar negeri. KPU menegaskan bahwa pihaknya hanya mengatur regulasi tersebut di pemilu dalam negeri.
"Yang kami atur adalah exit poll di dalam negeri. Sudah diatur demikian, dua jam setelah pencoblosan selesai," ujar Viryan Azis di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Senin 15 April 2019.
"Exit poll itu kan pendekatannya berbasis kepada regulasi dengan pengaturan waktu di dalam negeri," imbuhnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menyatakan, metode penghitungan exit poll memiliki kelemahan jika dilakukan di luar negeri. Pasalnya, pencoblosan di luar negeri tidak semua dilakukan melalui TPS, tapi juga melalui pos dan kotak suara keliling (KSK).
"Mungkin saja, tapi hanya untuk TPS, kalau metode pos, siapa yang ditanya. Kan baru dihitung nanti bareng-bareng tanggal 17 April. Metode KSK juga nanti dihitung tanggal 17," ucap Hasyim kepada wartawan, Senin 15 April 2019.
Kesimpulan
Bahwa Exit Poll bukan menjadi acuan penghitungan suara yang sah. Narasi yang beredar dikategorikan sesat.
Rujukan
(GFD-2019-1820) Himbauan Membawa Kertas Contekan ke Bilik Suara
Sumber: Whatsapp.comTanggal publish: 16/04/2019
Berita
Beredar pesan di WhatsApp berisi imbauan kepada pemilih terutama yang lanjut usia (lansia) agar membawa kertas kepekan (contekan atau sontekan) untuk dipakai ketika di bilik suara. Alasannya, warga lansia kadang lupa maupun bingung untuk mencoblos capres, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Mohon sebelum menuju TPS, agar dibuat catatan di secarik kertas. PILIHAN: Presiden No: ……, DPD No: ….., DPD:…., DPRRI Partai: …. Nama: …., DPRD Provinsi Partai: …… Nama:….., DPRD Kota/Kab LUAR JAKARTA Partai: …., Nama:…… Nb: Kalau kita tidak memiliki catatan itu, terlebih LANSIA, saya yakin bisa kebingungan di bilik di TPS."
Narasi:
Para Pemilih Dilarang Bawa Ponsel saat Masuk Bilik Suara pada Pemilu 2019
“Mohon sebelum menuju TPS, agar dibuat catatan di secarik kertas. PILIHAN: Presiden No: ……, DPD No: ….., DPD:…., DPRRI Partai: …. Nama: …., DPRD Provinsi Partai: …… Nama:….., DPRD Kota/Kab LUAR JAKARTA Partai: …., Nama:…… Nb: Kalau kita tidak memiliki catatan itu, terlebih LANSIA, saya yakin bisa kebingungan di bilik di TPS."
Narasi:
Para Pemilih Dilarang Bawa Ponsel saat Masuk Bilik Suara pada Pemilu 2019
Hasil Cek Fakta
Diminta komentar soal peredaran informasi contekan itu, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Muladi Wibowo, kepada Solopos.com, Selasa (16/4/2019), menyatakan dalam rapat KPU dan Bawaslu tingkat Jawa Tengah, Sabtu (13/4/2019), soal kertas contekan itu dibahas.
Salah satu hasil rapat itu adalah “Pemilih dilarang membawa kertas contekan sebagai bantuan dalam memberikan suaranya, dan KPPS 4 dan 5 memastikan pemilih tidak membawa bahan tersebut”.
Di samping larangan itu, pemilih juga dilarang membawa HP ke bilik suara, mendokumentasikan, hingga mengunggah ke medsos.
Salah satu hasil rapat itu adalah “Pemilih dilarang membawa kertas contekan sebagai bantuan dalam memberikan suaranya, dan KPPS 4 dan 5 memastikan pemilih tidak membawa bahan tersebut”.
Di samping larangan itu, pemilih juga dilarang membawa HP ke bilik suara, mendokumentasikan, hingga mengunggah ke medsos.
Rujukan
(GFD-2019-1818) Klaim Hampir 90 Persen Petugas di TPS Hong Kong Adalah Orang China
Sumber: Twitter.comTanggal publish: 16/04/2019
Berita
Beredar info yang menyebut bahwa Hampir 90 Persen Petugas di TPS Hong Kong Adalah Orang China
Hasil Cek Fakta
Dugaan kecurangan terjadi di tempat pemungutan suara (TPS) Hong Kong. Ada bermacam versi, salah satunya yang mengaitkannya dengan profil petugas panitia pemilu di luar negeri (PPLN)
"Lagi, Terjadi Dugaan Kecurangan di Hongkong, dijelaskan disini hampir 90% petugasx wong Cino.DAN LUAR BIASA KACAU BALAU!
Kawan2 bisa membaca sendiri. Parah banget. ????
Yaa Allah.... Model Pemilihan beginian kok kita masih disuruh Percaya KPU?," demikian klaim yang dimuat dalam akun Twitter @RatuAnissah.
Konten yang diunggah @RatuAnissah telah diteruskan sebanyak 547 kali dan mendapat 87 komentar warganet.
Penelusuran Fakta
Dari hasil penelusuran, syarat untuk menjadi Ketua dan Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri adalah warga negara Indonesia (WNI).
Hal ini sebagaimana dikutip dari situs resmi Kementerian Luar Negeri, kemenlu.go.id. Selain WNI, ada sejumlah syarat lainnya yang harus dipenuhi sebagai Ketua dan Anggota PPLN.
Di antaranya dalah tidak pernah menjadi anggota partai politik paling singkat 5 (lima) tahun yang dinyatakan dengan surat pernyataan yang sah dan tidak pernah dipidana penjara, dan tidak pernah diberikan sanksi pemberhentian tetap oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Selain itu, berdasarkan laporan dari Migrant Care ada sejumlah kendala dari faktor eksternal dalam pelaksanaan pemilu di Hong Kong sehingga merugikan WNI.
Hal ini sebagaimana dikutip dari kompas.com dalam judul artikel 'Migrant Care Temukan Ada 4 Kendala Pemilu 2019 di Hong Kong'.
KOMPAS.com – Hari ini pemungutan suara pendahuluan di beberapa negara tujuan pekerja migran Indonesia hari ini (14/4/2019) digelar, salah satunya adalah Hong Kong. Di Hong Kong, warga negara Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Calon Legislatif DPR-RI Dapil DKI Jakarta 2.
Migrant Care turut melakukan pemantauan penyelenggaraan pemilu di beberapa lokasi pemungutan suaran di Hong Kong, seperti di Queen Elizabeth Stadium (Wan Chai) dan District Kai Fong Association Hall (Tsim Sha Tsui).
Antusiasme pekerja migran Indonesia terlihat dari antrean yang mengular di lokasi pemungutan suara.
Peningkatan partisipasi ini sudah diprediksi sebelumnya oleh data pemuktahiran DPT yang dikumpulkan oleh Panitia Pemilihan Luar Negri (PPLN) setempat.
Dari pantauan langsung di lapangan, Migrant Care menemukan sejumlah kendala dari faktor eksternal dalam pelaksanaan pemilu di Hong Kong sehingga merugikan WNI, seperti berikut:
- Masih adanya dokumen yang ditahan oleh majikan dan agen sehingga calon pemilih tidak bisa menyalurkan hak pilihnya.
- Limitasi durasi waktu libur membuat calon pemilih dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) terancam gugur hak pilihnya karena waktu yang terbatas.
- Beberapa calon pemilih menyatakan tidak mendaftar melalui mekanisme online sebelumnya. Hal itu dikarenakan adanya ketakutan dokumen yang diunggah bakal disalahgunakan.
- Bagi calon pemilih yang telah terdaftar melalui pos namun surat suaranya kembali (retur) terancam tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena minimnya informasi terkait kasus ini.
Direktur Eksekutif Migran Care Wahyu Susilo yang memantau langsung penyelenggaraan pemilu di Hong Kong mengatakan, antusiasme calon pemilih tidak diimbangi dengan respons dari penyelenggara, misal dalam mengantisipasi DPK.
"Tidak ada panitia yang memilah DPT dan DPK di antrean terluar, sehingga calon pemilih DPK yang sudah mengantre lama sejak pagi, harus keluar dan menunggu kembali pada waktu yang ditentukan," katanya.
"Migrant Care sebagai pemantau pemilu independen mendesak adanya opsi alternatif untuk dapat mengakomodir hak memilih Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong," imbuhnya.
Kabar soal kecurangan pemungutan suara di Hongkong karena petugas PPLN adalah warga China ternyata tidak benar.
Belum ada bukti sahih kecurangan pemungutan suara di Hong Kong, hanya saja terdapat beberapa kendala yang dialami WNI ketika ingin menggunakan hak suara di TPS. Narasi yang dibangun tidak sesuai dengan fakta dan kejadian sebenarnya.
"Lagi, Terjadi Dugaan Kecurangan di Hongkong, dijelaskan disini hampir 90% petugasx wong Cino.DAN LUAR BIASA KACAU BALAU!
Kawan2 bisa membaca sendiri. Parah banget. ????
Yaa Allah.... Model Pemilihan beginian kok kita masih disuruh Percaya KPU?," demikian klaim yang dimuat dalam akun Twitter @RatuAnissah.
Konten yang diunggah @RatuAnissah telah diteruskan sebanyak 547 kali dan mendapat 87 komentar warganet.
Penelusuran Fakta
Dari hasil penelusuran, syarat untuk menjadi Ketua dan Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri adalah warga negara Indonesia (WNI).
Hal ini sebagaimana dikutip dari situs resmi Kementerian Luar Negeri, kemenlu.go.id. Selain WNI, ada sejumlah syarat lainnya yang harus dipenuhi sebagai Ketua dan Anggota PPLN.
Di antaranya dalah tidak pernah menjadi anggota partai politik paling singkat 5 (lima) tahun yang dinyatakan dengan surat pernyataan yang sah dan tidak pernah dipidana penjara, dan tidak pernah diberikan sanksi pemberhentian tetap oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Selain itu, berdasarkan laporan dari Migrant Care ada sejumlah kendala dari faktor eksternal dalam pelaksanaan pemilu di Hong Kong sehingga merugikan WNI.
Hal ini sebagaimana dikutip dari kompas.com dalam judul artikel 'Migrant Care Temukan Ada 4 Kendala Pemilu 2019 di Hong Kong'.
KOMPAS.com – Hari ini pemungutan suara pendahuluan di beberapa negara tujuan pekerja migran Indonesia hari ini (14/4/2019) digelar, salah satunya adalah Hong Kong. Di Hong Kong, warga negara Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Calon Legislatif DPR-RI Dapil DKI Jakarta 2.
Migrant Care turut melakukan pemantauan penyelenggaraan pemilu di beberapa lokasi pemungutan suaran di Hong Kong, seperti di Queen Elizabeth Stadium (Wan Chai) dan District Kai Fong Association Hall (Tsim Sha Tsui).
Antusiasme pekerja migran Indonesia terlihat dari antrean yang mengular di lokasi pemungutan suara.
Peningkatan partisipasi ini sudah diprediksi sebelumnya oleh data pemuktahiran DPT yang dikumpulkan oleh Panitia Pemilihan Luar Negri (PPLN) setempat.
Dari pantauan langsung di lapangan, Migrant Care menemukan sejumlah kendala dari faktor eksternal dalam pelaksanaan pemilu di Hong Kong sehingga merugikan WNI, seperti berikut:
- Masih adanya dokumen yang ditahan oleh majikan dan agen sehingga calon pemilih tidak bisa menyalurkan hak pilihnya.
- Limitasi durasi waktu libur membuat calon pemilih dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) terancam gugur hak pilihnya karena waktu yang terbatas.
- Beberapa calon pemilih menyatakan tidak mendaftar melalui mekanisme online sebelumnya. Hal itu dikarenakan adanya ketakutan dokumen yang diunggah bakal disalahgunakan.
- Bagi calon pemilih yang telah terdaftar melalui pos namun surat suaranya kembali (retur) terancam tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena minimnya informasi terkait kasus ini.
Direktur Eksekutif Migran Care Wahyu Susilo yang memantau langsung penyelenggaraan pemilu di Hong Kong mengatakan, antusiasme calon pemilih tidak diimbangi dengan respons dari penyelenggara, misal dalam mengantisipasi DPK.
"Tidak ada panitia yang memilah DPT dan DPK di antrean terluar, sehingga calon pemilih DPK yang sudah mengantre lama sejak pagi, harus keluar dan menunggu kembali pada waktu yang ditentukan," katanya.
"Migrant Care sebagai pemantau pemilu independen mendesak adanya opsi alternatif untuk dapat mengakomodir hak memilih Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong," imbuhnya.
Kabar soal kecurangan pemungutan suara di Hongkong karena petugas PPLN adalah warga China ternyata tidak benar.
Belum ada bukti sahih kecurangan pemungutan suara di Hong Kong, hanya saja terdapat beberapa kendala yang dialami WNI ketika ingin menggunakan hak suara di TPS. Narasi yang dibangun tidak sesuai dengan fakta dan kejadian sebenarnya.
Kesimpulan
Kabar soal kecurangan pemungutan suara di Hongkong karena petugas PPLN adalah warga China ternyata tidak benar.
Belum ada bukti sahih kecurangan pemungutan suara di Hong Kong, hanya saja terdapat beberapa kendala yang dialami WNI ketika ingin menggunakan hak suara di TPS. Narasi yang dibangun tidak sesuai dengan fakta dan kejadian sebenarnya.
Belum ada bukti sahih kecurangan pemungutan suara di Hong Kong, hanya saja terdapat beberapa kendala yang dialami WNI ketika ingin menggunakan hak suara di TPS. Narasi yang dibangun tidak sesuai dengan fakta dan kejadian sebenarnya.
Rujukan
Halaman: 6354/6569