(GFD-2021-8788) Keliru, Suhu Udara Panas di Indonesia pada Oktober 2021 akibat Badai Matahari

Sumber: cekfakta.tempo.co
Tanggal publish: 18/10/2021

Berita


Sebuah unggahan yang memperlihatkan lapisan atmosfer Matahari yang mendekati Bumi beredar di media sosial. Gambar tersebut dibagikan dengan narasi bahwa gerah yang terasa beberapa hari di Oktober 2021 disebabkan badai matahari.
Di Facebook, gambar tersebut dibagikan akun ini pada 15 Oktober 2021. Berikut narasinya:
“Gerah banget? Beberapa hari terakhir ini sampai seminggu ke depan mungkin, sebenarnya sedang terjadi badai matahari. Gas H di permukaan matahari memercik sampai ke planet2 yang mengelilinginya termasuk bumi…”
Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapat 82 komentar dan dibagikan lebih dari 21 ribu kali. Apa benar suhu udara panas di Indonesia pada Oktober 2021 akibat Badai Matahari?

Hasil Cek Fakta


Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan terkait melalui sejumlah media kredibel. Hasilnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geoisika (BMKG) menegaskan bahwa suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun, sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.
Berdasarkan pantauan BMKG terhadap suhu maksimum di wilayah Indonesia, memang suhu tertinggi siang hari ini mengalami peningkatan dalam beberapa hari terakhir. Tercatat suhu lebih dari 36 derajat celsius terjadi di Medan, Deli Serdang, Jatiwangi dan Semarang pada catatan meteorologis tanggal 14 Oktober 2021.
Suhu tertinggi pada hari itu tercatat di Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah I, Medan yaitu 37,0 °C. Namun catatan suhu ini bukan merupakan penyimpangan besar dari rata-rata iklim suhu maksimum pada wilayah ini, masih berada dalam rentang variabilitasnya di Bulan Oktober.
Dilansir dari  Kompas.com, Pelaksana tugas Deputi Bidang Klimatologi, Urip Haryoko mengatakan, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun. Sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.
Saat ini, berdasarkan pantauan BMKG terhadap suhu udara maksimum di wilayah Indonesia, memang suhu tertinggi siang hari ini mengalami peningkatan dalam beberapa hari terakhir, tak heran jika suhu udara terasa panas.
Setidaknya penyebab suhu udara panas atau suhu mencapai maksimum yang meningkat dalam beberapa hari ini dapat disebabkan oleh beberapa hal:
1. Kedudukan semu Matahari terhadap suhu udara Pada bulan Oktober, kedudukan semu gerak matahari adalah tepat di atas Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dalam perjalannya menuju posisi 23 lintang selatan setelah meninggalkan ekuator.  Posisi semu Matahari di atas Pulau Jawa akan terjadi 2 kali yaitu di bulan September atau Oktober dan Februari atau Maret.
2. Suhu udara dan kondisi cuaca cerah Faktor penyebab suhu tinggi di Indonesia berikutnya adalah kondisi cuaca yang cerah. "Cuaca cerah juga menyebabkan penyinaran langsung sinar matahari ke permukaan lebih optimal sehingga terjadi pemanasan suhu permukaan," jelasnya.
Badai Matahari
Peneliti Cuaca Antariksa di Pusat Riset Antariksa Lapan-BRIN Tiar Dani menjelaskan, badai Geomagnetik atau yang dikenal dengan Badai Matahari adalah terjadinya peristiwa ledakan di Matahari yang berasal dari sunspot (bintik yang muncul di piringan Matahari).
“Ledakan tersebut biasanya disebut Flare dan kadang disertai dengan lontaran massa korona atau Coronal Mass Ejection (CME),” ujar Tiar, saat dihubungi Kompas.com, Kamis, 14 Oktober 2021.
Menurut Tiar, dampak ledakan (flare) akan terasa di Bumi 9 menit kemudian, terutama di sisi Bumi yang sedang menghadap Matahari (atau sisi siang). Sementara, dampak CME akan terasa sekitar 1-3 hari tergantung kecepatan partikel CME yang dilontarkan.
Tiar memaparkan, ketika partikel tersebut telah mencapai Bumi, maka biasanya ditandai dengan munculnya aurora di kutub-kutub Bumi. Selain itu, akan timbul badai geomagnet yakni terganggunya lapisan magnetosfer Bumi dan beberapa satelit. Muncul pula badai ionosfer yakni terganggunya komunikasi radio dan satelit.
Tiar mengatakan, badai pada 12 Oktober 2021 disebabkan flare kelas M1,6 yang terjadi pada 9 Oktober 2021. Ledakan tersebut disertai dengan HALO CME yakni lontaran partikel berbentuk lingkaran.
Tiar menjelaskan, dampak Badai Matahari di antaranya adanya gangguan terhadap satelit yang ada di orbit Bumi, komunikasi radio HF, radiasi untuk penerbangan di lintang tinggi. Selain itu, terjadi gangguan navigasi berbasis satelit, serta jaringan pipa minyak dan listrik di lintang tinggi. Di Indonesia, pada 12  Oktober 2021 lalu terjadi badai geomagnet akibat dampak dari badai Matahari yang terjadi 9 Oktober 2021.
“Badai geomagnet tanggal 12 Oktober kemarin telah diprediksikan oleh kami dan terpantau oleh kami. Untuk wilayah Indonesia, terjadi badai geomagnet hingga skala Moderat (Menengah),” ujar Tiar. Menurut dia, dampak yang timbul untuk manusia, di Indonesia cenderung aman.
“Dampaknya terhadap manusia relatif aman karena partikel-partikel dari CME tadi akan dibelokkan menuju kutub-kutub bumi,” kata Tiar.
BMKG pernah mencatat, adanya aktivitas badai matahari (badai geomagnet) pada September 2021 terjadi pada tanggal 23 September 2021 dengan index 2,25 di wilayah  Jawa Barat.
Dilansir dari  pikiranrakyat.com, laporan BMKG mencatat, adanya badai geomagnet skala lemah dengan index 31,875. Angka tersebut tercatat menjadi yang tertinggi sepanjang bulan September 2021, bahkan dalam beberapa bulan terahir. Selama ini, index badai magnetik Jawa Barat pada skala tenang atau di bawah 30.
"Berdasarkan hasil pengolahan nilai indeks K dan Indeks A pada data medan magnet bumi di Stasiun Magnet Bumi Pelabuhan Ratu, nilai indeks K tertinggi pada bulan September 2021 adalah skala 5 dan nilai Indeks A tertinggi adalah 31.9 pada 27 September 2021," kata kepala BMKG Stasiun Bandung Teguh Rahayu, Minggu, 10 Oktober 2021.
Kendati pada 27 September tercatat terjadi peningkatan index gangguan magnetik, namun BMKG tidak mengkonfirmasi penyebab listrik padam di pantura akibat peristiwa badai matahari yang telah diperkirakan banyak pihak bakal terjadi pada periode itu.
"Pada tanggal 27 September tidak ada aktivitas solar flare yang tercatat, sehingga kemungkinan aktivitas magnetik yang tercatat di Stasiun Pelabuhan Ratu pada waktu tersebut akibat noise pada data proton magnetometer," ujarnya.
Berdasarkan arsip berita Tempo, Badai Matahari juga pernah terjadi pada Maret 2019. Saat itu, Kepala Bagian Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko mengatakan efek badai matahari di Indonesia kecil karena negara kita berada di wilayah yang dilintasi garis khatulistiwa.
"Indonesia yang berada di wilayah ekuator memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk mengalami gangguan akibat badai geomagnetik ini," kata Hary melalui keterangan tertulis, Jumat, 15 Maret 2019.
Hary menuturkan badai matahari adalah gangguan sementara pada lapisan magnetosfer bumi yang diakibatkan oleh interaksi antara angin matahari dengan medan magnet bumi. Fenomena ini, kata dia, rutin terjadi sebagai akibat dari aktivitas pelontaran massa korona (Coronal Mass Ejection/CME) di matahari.
Menurut humas BMKG ini, badai matahari ini juga tidak berpengaruh pada cuaca di Indonesia. Adapun wilayah yang merasakan badai matahari bakal berdampak pada gangguan minor pada sistem satelit dan gangguan lemah pada jaringan listrik, terutama pada wilayah lintang tinggi. "Kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi di Indonesia."
Peneliti Pusat Ilmu Antariksa LAPAN Rhorom Priyatikanto menyatakan bahwa panasnya cuaca di Jakarta dan sekitarnya pada Jumat siang, 15 Maret 2019, bukan disebabkan oleh adanya fenomena  bada

Rujukan