(GFD-2020-4539) [SALAH] Klaim Hadi Pranoto Soal COVID-19

Sumber: facebook.com
Tanggal publish: 04/08/2020

Berita

Pada tanggal 31 Juli lalu, akun youtube duniamanji mengunggah sebuah video Anji mewawancarai seseorang bernama Hadi Pranoto yang mengaku sebagai Profesor dan Ahli mikrobiologi. Meski telah dihapus oleh pihak Youtube, namun videonya telah tersebar ke berbagai media, salah satunya Facebook milik Anji (Anji Manji).

Dalam video itu terdapat sejumlah klaim.

Hasil Cek Fakta

Dalam wawancara tersebut, Hadi mengklaim beberapa hal:

1. Mengaku bergelar Profesor dan Ketua Tim Riset Formula Antibodi Covid-19.

Berdasarkan penelusuran Kompas.com di website Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) ada nama Hadi Pranoto dengan gelar akademik doktor (Dr) lulusan S3 Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun foto Hadi Pranoto di website Dikti tersebut berbeda dengan Hadi Pranoto yang tampil di YouTube musisi Anji.

Saat dikonfirmasi mengenai latar belakang pendidikan S-3 dari IPB atas nama Hadi Pranoto di data Dikti, Hadi Pranoto membenarkannya. "Iya," kata dia saat dikonfirmasi Kompas.com via WhatsApp mengenai pendidikan terakhirnya tersebut, Senin (3/8/2020).

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi IPB University Yatri Indah Kusumastuti melalui rilis ke Kompas.com membantah jika Hadi Pranoto lulusan S3 IPB. "Menurut penelusuran di internal institusi kami, sosok Hadi Pranoto yang dimaksud Kompas.com adalah orang yang berbeda dengan Hadi Pranoto yang merupakan alumnus IPB (saat ini dosen Universitas Mulawarman). Nama sama, tetapi beda orang," tulis Yatri dalam rilis, Senin (3/8/2020).

2. Dosen di Universitas Mulawarman

Hadi Pranoto yang merupakan dosen di Universitas Mulawarman menegaskan jika ia bukanlah Hadi Pranoto yang tampil di YouTube musisi Anji. "Dari fotonya juga bukan saya, terus bidang keahliannya juga bukan saya, dia (Hadi yang viral di YouTube musisi Anji) itu kan ngomongnya profesor dan bidang keahliannya Mikrobiologi, sedangkan saya bidangnya Agroforestri dan dosen Fakultas Pertanian dan saya alumni IPB S3, S1 UMM Malang, S2 Mulawarman Samarinda," bebernya.

3. Bahwa dia telah menemukan cairan antibodi Covid-19.

Jubir Satgas COVID-19, Prof Wiku Adisasmito menegaskan obat herbal yang diatur di Indonesia terdiri dari jamu, obat herbal berstandar, dan fitofarmaka. Dia meminta masyarakat jeli dan memeriksa apakah obat itu sudah terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau Kementerian Kesehatan. "Apabila ramuan herbal tersebut masih dalam tahap penelitian dan belum ada bukti ilmiah tentang keamanan dan efektivitasnya, maka tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat," ucap Wiku.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan yang pernah menjadi Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menganggap klaim tersebut sebagai pembodohan. Menurut Yuri, ada sejumlah hal yang tidak dijelaskan dalam klaim obat Covid-19 yang disampaikan Hadi Pranoto. Ia meminta Hadi Pranoto untuk datang kepada pemerintah jika memang benar-benar telah menemukan obat untuk Covid-19. "Kalau memang dia menemukan, suruh datang ke pemerintah dan suruh menunjukkan buktinya," papar Yuri.

4. Virus corona baru bisa mati jika terkena panas hingga 350 derajat celsius.

Pengajar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Agung Dwi Wahyu Widodo mematahkan pernyataan Hadi Pranoto bahwa virus penyebab Covid-19 baru bisa mati di suhu 350 derajat celsius. Dari pengalaman Agung, pada suhu 120 derajat saja virus sudah inaktif. “Selama ini kami pakai autoklaf yang 120 derajat, itu virusnya sudah inaktif,” kata Agung saat dihubungi, Ahad, 2 Agustus 2020. Autoklaf adalah alat pemanas tertutup yang digunakan untuk sterilisasi benda menggunakan uap panas dan tekanan tinggi.

5. Telah mendistribusikan obat herbal itu ke sejumlah daerah di Sumatera, Jawa, Bali, dan kalimantan. Di Jakarta, obat ini didistribusikan ke RS Darurat Wisma Atlet.

Dokter spesialis paru-paru Dr. Arief Riadi Arifin, SpP, MARS, FISR yang juga didaulat sebagai Koordinator Dokter Spesialis Paru BNPB dan RSD Wisma Atlet mengatakan bahwa dirinya tak tahu menahu dengan obat yang dimaksud Hadi.

"Saya tidak pernah pernah tau obat atau herbal yang dimaksud Hadi tersebut. Kalau obat atau herbal yang diberikan harus melalui komisi etik Rumah Sakit," kata Arif kepada Suara.com, Minggu (2/8/2020).

6. Covid-19 dibagi menjadi beberapa golongan. Golongan A adalah yang bisa dideteksi dengan rapid test. Golongan B dan C adalah yang tidak bisa dideteksi dengan rapid test, tapi bisa dideteksi dengan tes swab. Sementara golongan D adalah yang tidak bisa dideteksi dengan tes swab, tapi bisa dideteksi dengan tes DNA untuk melihat apakah virus sudah masuk ke jaringan pembuluh darah atau masih dalam proses asimilasi untuk masuk ke tubuh melalui oksigen.

Tidak ada penggolongan Covid-19 yang didasarkan pada kemampuan deteksinya. Sejauh ini, tes PCR dianggap paling akurat untuk mendeteksi Covid-19 dibandingkan rapid test antibodi. Tes PCR Covid-19 sudah dikembangkan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 yang diambil dari lendir di saluran pernapasan. Dalam tes PCR ini, terdapat materi genetik sintetik atau primer yang hanya bisa menempel pada urutan materi genetik SARS-CoV-2. Tes PCR bisa mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 tanpa harus menunggu munculnya antibodi seperti rapid test.

Sementara terkait klaim golongan D yang hanya bisa dideteksi dengan tes DNA, keliru. Menurut ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, materi genom SARS-CoV-2 adalah RNA sehingga tidak akan bisa dideteksi dengan tes DNA. “Jadi, sampai kiamat pun, enggak akan ketemu virusnya kalau dites dengan tes DNA,” kata Ahmad.

Hal ini juga diungkapkan oleh pakar penyakit dalam spesialis paru-paru Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Sumardi. Menurut dia, virus Corona jenis baru penyebab Covid-19 ini merupakan virus RNA. Virus RNA yaitu strain yang saat bertemu dengan inang dapat membuat salinan baru yang bisa terus menginfeksi sel lain.

7. Tes digital teknologi murah seharga Rp10 ribu.

Wakil Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, menyatakan tidak mengetahui adanya tes Covid-19 yang bernama digital teknologi seperti yang dikatakan Hadi Pranoto, yang hanya bertarif Rp 10-20 ribu. Dia mengatakan tenaga medis di dunia menggunakan reverse transcriptase polymerase chain reaction (PCR). “Itu juga yang digunakan di Indonesia,” katanya.

Senada dengan Herawati, pengajar mikrobiologi FK Unair, Agung Dwi Widodo, tidak paham dengan maksud digital teknologi yang disebutkan Hadi. Dia pun bercerita tentang sejumlah guru besar yang sempat merasa jengkel dengan klaim tes Covid-19 yang dikatakan oleh Hadi tersebut. “Kalau ada tes yang berbasis digital teknologi itu murah, maka semua sampel di ini Surabaya mau dikirim ke Hadi Pranoto,” canda Agung.

Pria yang berprofesi sebagai dokter mikrobiologi klinis itu juga berkata tes Covid-19 tergolong mahal karena sejumlah penyebab. Beberapa di antaranya adalah petugas mesti menggunakan alat pelindung diri (APD) saat mengambil sampel; jumlah mesin pengujian yang terbatas; dan reagen yang masih impor.

8. Covid-19 bisa terdeteksi lewat keringat.

Pengajar mikrobiologi FK Unair, Agung Dwi Widodo mengatakan belum ada penelitian yang menyebut bahwa deteksi Covid-19 bisa dilakukan melalui keringat. Yang terbaru, kata dia, banyak ilmuwan menyebut bahwa tes Covid-19 bisa menggunakan air liur atau saliva. Senada dengan Agung, Wakil Ketua IDI Adib Khumaidi mengatakan belum ada penelitian yang menyebut bahwa tes Covid bisa menggunakan keringat. “Belum ada penelitian secara ilmiah yang membuktikan itu,” kata Adib.

9. Vaksin Covid-19 hanya akan semakin merusak organ.

Cara vaksin COVID-19 tak berbeda jauh pada vaksin pada umumnya. Di dalam vaksin terdapat berbagai produk biologi, dan bagian dari virus atau bakteri, maupun virus atau bakteri yang sudah dilemahkan. Produk inilah yang beguna untuk merangsang munculnya antibodi atau kekebalan tubuh.

Dengan kata lain, cara kerja vaksin virus corona sama dengan vaksin lainnya. Vaksin COVID-19 akan merangsang sistem imunitas untuk membuat zat kekebalan tubuh (antibodi) yang bertahan cukup lama. Nah, zat ini nantinya akan melawan antigen dari patogen (virus corona) COVID-19 masuk ke dalam tubuh. Bila antigen penyakit COVID-19 menyerang kembali, maka akan muncul reaksi imunitas yang kuat dari tubuh. Tujuannya untuk menghancurkan antigen tersebut.

10. Masker tidak dapat mencegah transmisi Covid-19.

Dari hasil penelitian para peneliti di Texas dan California, Amerika Serika

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan itu, konten tersebut masuk ke dalam kategori Misleading Content atau Konten yang Menyesatkan.

Rujukan