(GFD-2025-30137) Menyesatkan: Vaksin PCV Meningkatkan Risiko Penularan Pneumonia dan Kematian

Sumber:
Tanggal publish: 18/11/2025

Berita

SEBUAH konten diunggah di Instagram [arsip] dengan narasi bahwa vaksin pneumonia atau Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) tidak efektif. 

Pengunggah mengutip studi kohort berjudul Real world effectiveness of anti pneumococcal vaccination against pneumonia in adults a population-based cohort study yang dilakukan di Catalonia, Spanyol, pada 2019. Ia menafsirkan hasil penelitian terhadap dua juta orang dewasa itu sebagai bukti bahwa vaksin PCV meningkatkan risiko pneumonia dan kematian, lalu mempertanyakan efektivitas vaksin PCV pada anak.



Hingga tulisan ini dibuat, unggahan itu mendapatkan lebih dari 25 ribu suka. Namun, benarkah vaksin PCV justru meningkatkan risiko tertular pneumonia dan kematian, termasuk anak-anak?

Hasil Cek Fakta

Tempo memverifikasi klaim ini dengan mewawancarai dokter dan menelusuri jurnal kredibel. Hasil pemeriksaan menunjukkan penelitian di Catalonia, Spanyol, memiliki kelemahan metodologi sehingga temuannya bias dan tidak bisa diterapkan pada anak.

Pneumonia merupakan peradangan yang menyerang alveolus, kantung udara tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Penyebabnya beragam mulai dari bakteri, virus, jamur sampai parasit.

Penelitian yang dikutip konten tersebut menggunakan studi cohort retrospektif yakni jenis studi observasional di mana sekelompok individu yang memiliki karakteristik tertentu (kohort) diikuti selama periode waktu tertentu, dan hasilnya diukur pada satu atau lebih titik waktu.

Dosen Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Alergi-Imunologi Klinik Universitas Airlangga, dr Ari Baskoro, SpPD, K-AI, FINASIM, mengatakan studi kohort bukan metode terbaik untuk menilai efektivitas vaksin meski relatif sering digunakan. Sebab dengan metode cohort, subyek riset yang memiliki karakteristik serupa telah ditentukan sejak awal. Kelompok yang divaksinasi, dibandingkan dengan non-vaksinasi. Selanjutnya, diobservasi dari waktu ke waktu dan diukur luarannya (outcome), diperbandingkan antara yang terpapar penyakit dan yang tetap sehat. 

Dalam studi di Colonia, Spanyol tersebut, subyek yang dijadikan sampel penelitian itu semuanya berusia lebih dari 65 tahun yang memiliki risiko tinggi terpapar pneumonia. Selain itu, selisih antara jumlah subyek yang divaksin dan tidak divaksin sangat jauh. Dengan demikian hasilnya bisa bias.

“Dalam istilah riset, cara seperti itu banyak biasnya. Studi Catalonia merupakan satu contoh hasil penelitian yang menyesatkan,” kata Ari Baskoro.

Namun sebenarnya, kata Ari, studi di Catalonia tidak menyimpulkan bahwa vaksinasi menyebabkan pneumonia. Hasil penelitian menyatakan individu yang berisiko tinggi terpapar pneumonia merupakan target vaksinasi.

Untuk menilai efektivitas vaksin, Ari menjelaskan standar emas adalah uji coba terkontrol acak atau randomized controlled trial (RCT) dan analisis meta (meta-analyses). Gabungan kedua metode itu menekan bias dan menghasilkan kesimpulan paling kuat. 

Kunci utama RCT terletak pada randomisasi, di mana kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dipilih secara acak sehingga faktor perancu bisa diminimalkan. Perbandingan kedua kelompok dapat dilakukan secara seimbang. Kelebihan lain RCT adalah peneliti dapat mengontrol dosis, waktu, frekuensi, dan durasi intervensi. Upaya penyamaran atau blinding menekan bias karena subyek riset maupun peneliti tidak mengetahui perlakuan yang diterima. Itulah sebabnya RCT memiliki validitas internal tertinggi.

Sementara meta-analisis unggul dalam sintesis data kuantitatif, memberikan kekuatan statistik lebih presisi, dan menilai konsistensi antar subyek penelitian. Dengan demikian, meta-analisis mampu menyajikan ringkasan komprehensif dari semua bukti yang tidak bias.

“Metodologi ini penting dalam merumuskan pedoman klinis dan kebijakan kesehatan,” kata dokter yang bertugas di RSUD Dr Soetomo, Surabaya itu.

PCV Efektif untuk Anak-anak

Lulusan Ph.D Ilmu Kedokteran dari Universitas Kobe, Jepang, Adam Prabata, menegaskan bahwa hasil riset vaksinasi pada orang dewasa di Catalonia, Spanyol, tidak bisa digeneralisasi pada anak-anak.

Hal Ini disebabkan beberapa faktor, antara lain perbedaan kondisi maturasi sistem imun, perbedaan respon antibodi sehingga dapat berpengaruh terhadap efikasi yang dapat muncul. 

“Termasuk perbedaan kemungkinan efek samping yang dapat muncul dengan dosis tertentu,” ujarnya kepada Tempo melalui pesan teks, Kamis, 13 November 2025.

Adam mengutip penelitian meta analisis dan tinjauan sistematis dari jurnal Vaccine: X. Penelitian ini merangkum dan menganalisis 25 studi lainnya, untuk melihat efektivitas vaksin pneumonia pada anak-anak. Desain penelitian riset tersebut adalah systematic review dan meta-analisis, sehingga tingkat kepercayaannya tinggi.

Hasil dari studi tersebut, vaksin pneumonia efektif bagi anak, terutama untuk mencegah infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dan dapat mengancam jiwa (invasive pneumococcal disease). Efektivitasnya mencapai 66,8% (1 kali dosis primer), 78,8% (2 kali dosis primer), 82,0% (3 kali dosis primer), dan 94,4% (Vaksin primer dan booster).

Selain itu, terdapat penelitian uji klinis yang dipublikasikan American Academy of Pediatrics, melibatkan 1.500 anak untuk mendapatkan vaksin pneumonia, yakni 1.000 anak mendapatkan PCV20 dan 500 anak PCV13. “Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum vaksin pneumonia memiliki keamanan yang baik dan dapat ditoleransi oleh anak,” kata Adam.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelusuran Tempo, klaim bahwa vaksin PCV justru meningkatkan risiko tertular pneumonia dan kematian, termasuk anak-anak adalah menyesatkan.

Rujukan