NARASI yang menyebut ada larangan mengkonsumsi Coca-Cola di Cina, beredar di Instagram [arsip] pada 14 Oktober 2025.
Dalam keterangan unggahannya, klaim itu disebut berdasarkan sebuah riset terhadap 500 narapidana di berbagai penjara Cina. Mereka diminta mengkonsumsi Coca-Cola sebanyak tiga kali sehari selama enam bulan. Hasilnya, 75 orang meninggal dunia, 150 orang mengalami infeksi serius, sebagian lainnya menjadi penyandang disabilitas, dan sisanya menderita perburukan penyakit kronis dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda.
Klaim itu juga menyebut bahwa selain Cina, minuman itu juga pernah dilarang di India, Latvia, Inggris, dan Ukraina. Bahkan di Turki, untuk pertama kalinya digelar sidang terhadap perusahaan Coca-Cola atas dugaan kandungan berbahaya yang dapat memicu penyakit paru-paru, hati, tiroid, hingga leukemia.
Tempo akan memverifikasi dua hal terkait klaim yang beredar tersebut. Pertama, benarkah Cina melarang Coca-Cola karena hasil riset menunjukkan minuman soda tersebut lebih berbahaya daripada alkohol? Kedua, benarkah India, Latvia, Inggris dan Ukraina pernah melarang Coca-Cola karena alasan berbahaya bagi kesehatan?
(GFD-2025-29658) Menyesatkan: Coca-Cola Lebih Berbahaya daripada Alkohol
Sumber:Tanggal publish: 24/10/2025
Berita
Hasil Cek Fakta
Klaim 1: Riset klaim bahaya Coca-Cola pada narapidana di Cina
Tempo tidak ditemukan riset terhadap 500 narapidana di berbagai penjaraseperti yang diklaim. Coca-Cola juga masih tersedia untuk dibeli di Taobao, e-commerce platform populer di Cina.
Penelitian yang berhubungan dengan Coca-Cola di Cina memang ada. Penelitian itu menghubungkan dampak konsumsi Coca-Cola dengan meningkatnya obesites dan telah dimuat oleh The Guardian dan Yale.
Menurut peneliti di Center for Infectious Disease Education and Research, Osaka University dan apoteker David Chen, minuman bersoda apapun termasuk Coca-Cola berbahaya karena kandungan gula yang tinggi.
“Risikonya memicu diabetes,” kata David kepada Tempo, Rabu, 22 September 2025.
Secara komposisi, kata David, Coca-Cola sudah divalidasi oleh BPOM. Komposisinya antara lain air berkarbonasi, gula, pewarna alami karamel (kelas IV), pengatur keasaman (asam fosfat), konsentrat kola dan kafein.
“Jadi tidak benar minuman ini lebih berbahaya dari pada alkohol. Semua tergantung dari dosis gula dan etanol yang ada dalam minuman tersebut,” katanya.
Klaim 2: India, Latvia, Inggris dan Ukraina pernah melarang Coca-Cola karena alasan berbahaya bagi kesehatan
Klaim bahwa beberapa negara melarang konsumsi Coca-Cola tidak terbukti. Di Cina, India, dan Brasil, minuman ini tetap diperjualbelikan dan justru menjadi pendorong pertumbuhan perusahaan. Laporan kuartal pertama 2025 mencatat laba per saham yang disesuaikan 73 sen dan laba bersih $11,13 miliar, dengan pertumbuhan pendapatan organik 6 persen dan peningkatan volume penjualan 2 persen, terutama di pasar-pasar berkembang tersebut.
Latvia memang memiliki larangan, tetapi fokusnya berbeda. Sejak Agustus 2006, pemerintah melarang penjualan junk food di lingkungan sekolah umum, termasuk makanan tinggi gula, garam, pewarna, dan perasa buatan. Larangan ini tidak spesifik menargetkan Coca-Cola dan berlaku hanya di sekolah, bukan untuk konsumsi umum.
Di Ukraina, seruan boikot Coca-Cola pada 2016 dan langkah beberapa jaringan supermarket pada 2022 bukan terkait kesehatan, melainkan akibat konflik geopolitik dan hubungan perusahaan dengan Rusia, sebagaimana diberitakan News Week.
Sementara itu, beberapa negara Eropa pernah menarik Coca-Cola dari pasaran karena kandungan klorat tinggi pada produksi tertentu di Belgia. Produk ini dikirim ke Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, dan Luksemburg, dan penarikan dilakukan untuk mencegah risiko kesehatan, terutama bagi anak-anak.
Tempo tidak ditemukan riset terhadap 500 narapidana di berbagai penjaraseperti yang diklaim. Coca-Cola juga masih tersedia untuk dibeli di Taobao, e-commerce platform populer di Cina.
Penelitian yang berhubungan dengan Coca-Cola di Cina memang ada. Penelitian itu menghubungkan dampak konsumsi Coca-Cola dengan meningkatnya obesites dan telah dimuat oleh The Guardian dan Yale.
Menurut peneliti di Center for Infectious Disease Education and Research, Osaka University dan apoteker David Chen, minuman bersoda apapun termasuk Coca-Cola berbahaya karena kandungan gula yang tinggi.
“Risikonya memicu diabetes,” kata David kepada Tempo, Rabu, 22 September 2025.
Secara komposisi, kata David, Coca-Cola sudah divalidasi oleh BPOM. Komposisinya antara lain air berkarbonasi, gula, pewarna alami karamel (kelas IV), pengatur keasaman (asam fosfat), konsentrat kola dan kafein.
“Jadi tidak benar minuman ini lebih berbahaya dari pada alkohol. Semua tergantung dari dosis gula dan etanol yang ada dalam minuman tersebut,” katanya.
Klaim 2: India, Latvia, Inggris dan Ukraina pernah melarang Coca-Cola karena alasan berbahaya bagi kesehatan
Klaim bahwa beberapa negara melarang konsumsi Coca-Cola tidak terbukti. Di Cina, India, dan Brasil, minuman ini tetap diperjualbelikan dan justru menjadi pendorong pertumbuhan perusahaan. Laporan kuartal pertama 2025 mencatat laba per saham yang disesuaikan 73 sen dan laba bersih $11,13 miliar, dengan pertumbuhan pendapatan organik 6 persen dan peningkatan volume penjualan 2 persen, terutama di pasar-pasar berkembang tersebut.
Latvia memang memiliki larangan, tetapi fokusnya berbeda. Sejak Agustus 2006, pemerintah melarang penjualan junk food di lingkungan sekolah umum, termasuk makanan tinggi gula, garam, pewarna, dan perasa buatan. Larangan ini tidak spesifik menargetkan Coca-Cola dan berlaku hanya di sekolah, bukan untuk konsumsi umum.
Di Ukraina, seruan boikot Coca-Cola pada 2016 dan langkah beberapa jaringan supermarket pada 2022 bukan terkait kesehatan, melainkan akibat konflik geopolitik dan hubungan perusahaan dengan Rusia, sebagaimana diberitakan News Week.
Sementara itu, beberapa negara Eropa pernah menarik Coca-Cola dari pasaran karena kandungan klorat tinggi pada produksi tertentu di Belgia. Produk ini dikirim ke Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, dan Luksemburg, dan penarikan dilakukan untuk mencegah risiko kesehatan, terutama bagi anak-anak.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Cina melarang Coca-Cola dikonsumsi karena hasil penelitian menemukan Coca-Cola lebih berbahaya daripada alkohol adalah klaim menyesatkan.
Rujukan
- https://www.instagram.com/p/DPxakQxkuE0
- https://perma.cc/NWH2-RD8T
- https://www.theguardian.com/business/2019/jan/10/coca-cola-influence-china-obesity-policy-protect-sales-bmj-report
- https://globalist.yale.edu/in-the-magazine/coca-cola-in-china-how-big-corporations-control-national-health-systems/
- https://www.asktraders.com/analysis/coca-cola-ko-faces-key-q3-test-can-consistent-earnings-fuel-continued-growth
- https://www.newsweek.com/ukraine-boycott-cola-412134 /cdn-cgi/l/email-protection#c1a2a4aaa7a0aab5a081b5a4acb1aeefa2aeefa8a5
