KOMPAS.com - Di media sosial, beredar potongan video pernyataan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah.
Dalam video, Chandra menyebut penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pengguna media sosial memahaminya sebagai potensi pemidanaan bagi penjual pecel lele.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi itu keliru dan perlu diluruskan.
Video Chandra Hamzah menyebut penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat UU Tipikor, disebarkan oleh akun Facebook ini, ini, ini, dan ini.
Berikut narasi yang ditulis salah satu akun pada 5 Agustus 2025:
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah menyebut Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor bisa saja digunakan untuk menjerat penjual pecel lele.
penjual pecel lele di trotoar juga dapat dipidanakan.Ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara.
Sementara, berikut teks yang tertera pada video:
Hukum apa lagi iniPenjual pecel lele Merugikan ne gara
Chandra Hamzah: Penjual Pecel Lele di Trotoar Bisa Kena UU Tipikor karena Memperkaya Diri dan Merugikan Negara
akun Facebook Tangkapan layar konten dengan konteks keliru di sebuah akun Facebook, 5 Agustus 2025, berisi pernyataan Chandra Hamzah mengenai penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat UU Tipikor.
(GFD-2025-28636) [KLARIFIKASI] Eks Pimpinan KPK Bahas Pasal Ambigu UU Tipikor, Bukan Dorong Pidana Penjual Pecel Lele
Sumber:Tanggal publish: 26/08/2025
Berita
Hasil Cek Fakta
Pernyataan Chandra Hamzah disampaikan dalam sidang gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor Perkara 142/PUU-XXII/2024 pada Rabu 18 Juni 2025. Ia dihadirkan sebagai ahli.
Video aslinya dapat dilihat melalui pewartaan Kompas TV ini pada menit ke-48.
Dalam pemaparannya, Chandra tidak bermaksud mendorong pemidanaan penjual pecel lele. Saat itu, dia mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang dinilai ambigu dan tidak jelas.
Pasal 2 Ayat (1) mengatur tentang pidana bagi setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Chandra menekankan bahwa dalam merumuskan delik tidak boleh ambigu dan ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas legalitas lex certa.
"Kesimpulannya adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor, kalau saya berpendapat, untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi," ujar Chandra.
Kemudian, Pasal 3 mengatur tentang setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut dia, Pasal 3 UU Tipikor menjadi persoalan karena memuat frasa "setiap orang" yang dinilai bisa mengingkari esensi korupsi. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang korup.
Pasal tersebut juga menegaskan jabatan atau kedudukan yang bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Ia menyarankan untuk mengganti frasa "setiap orang" dengan "Pegawai Negeri" dan "Penyelenggara Negara" sebagaimana rekomendasi United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC).
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, usai sidang, Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2024, Alexander Marwata turut meluruskan narasi soal penjual pecel lele.
Menurut Alex, hal ini penting dipahami oleh seluruh penegak hukum agar UU Tipikor tidak dimaknai sebagai pasal sapu jagat yang bisa mempidanakan semua orang, termasuk pedagang pecel lele.
"Pokoknya kalau ada kerugian negara langsung korupsi. Enggak gitu lah, bukan begitu. Ini yang harus dipahami oleh aparat penegak hukum. Tidak setiap ada kerugian negara, baik di pemerintah maupun di BUMN, itu langsung menjadi perkara korupsi," ujarnya.
Video aslinya dapat dilihat melalui pewartaan Kompas TV ini pada menit ke-48.
Dalam pemaparannya, Chandra tidak bermaksud mendorong pemidanaan penjual pecel lele. Saat itu, dia mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang dinilai ambigu dan tidak jelas.
Pasal 2 Ayat (1) mengatur tentang pidana bagi setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Chandra menekankan bahwa dalam merumuskan delik tidak boleh ambigu dan ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas legalitas lex certa.
"Kesimpulannya adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor, kalau saya berpendapat, untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi," ujar Chandra.
Kemudian, Pasal 3 mengatur tentang setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut dia, Pasal 3 UU Tipikor menjadi persoalan karena memuat frasa "setiap orang" yang dinilai bisa mengingkari esensi korupsi. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang korup.
Pasal tersebut juga menegaskan jabatan atau kedudukan yang bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Ia menyarankan untuk mengganti frasa "setiap orang" dengan "Pegawai Negeri" dan "Penyelenggara Negara" sebagaimana rekomendasi United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC).
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, usai sidang, Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2024, Alexander Marwata turut meluruskan narasi soal penjual pecel lele.
Menurut Alex, hal ini penting dipahami oleh seluruh penegak hukum agar UU Tipikor tidak dimaknai sebagai pasal sapu jagat yang bisa mempidanakan semua orang, termasuk pedagang pecel lele.
"Pokoknya kalau ada kerugian negara langsung korupsi. Enggak gitu lah, bukan begitu. Ini yang harus dipahami oleh aparat penegak hukum. Tidak setiap ada kerugian negara, baik di pemerintah maupun di BUMN, itu langsung menjadi perkara korupsi," ujarnya.
Kesimpulan
Pernyataan Chandra Hamzah mengenai penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat UU Tipikor dipahami secara keliru.
Chandra memberi contoh penerapan pasal ambigu pada UU Tipikor, bukan mendorong pemidanaan penjual pecel lele.
Sebaliknya, ia mengusulkan mengganti frasa “setiap orang” pada Pasal 3 UU Tipikor, karena tidak setiap orang memiliki kekuasaan atau jabatan yang bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara atau korup.
Chandra memberi contoh penerapan pasal ambigu pada UU Tipikor, bukan mendorong pemidanaan penjual pecel lele.
Sebaliknya, ia mengusulkan mengganti frasa “setiap orang” pada Pasal 3 UU Tipikor, karena tidak setiap orang memiliki kekuasaan atau jabatan yang bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara atau korup.
Rujukan
- https://www.facebook.com/100063961422959/videos/4195828887299722/
- https://www.facebook.com/Diding.Carsudin/videos/1954488915093932/
- https://www.facebook.com/nurdin.mpuh/videos/1093093315583574/
- https://www.facebook.com/melati.dari.jaya.giri.815313/videos/742185318713630/
- https://www.youtube.com/watch?v=O8-3KxrkNpg
- https://nasional.kompas.com/read/2025/06/22/13451161/eks-pimpinan-kpk-sebut-penjual-pecel-lele-di-trotoar-bisa-terjerat-korupsi
- https://nasional.kompas.com/read/2025/07/16/17243891/cerita-soal-penjual-pecel-lele-kena-pasal-korupsi-kembali-jadi-contoh-di-mk?page=all
- https://kitabisa.com/campaign/kompascompendidikan