tirto.id - Narasi miring soal imunisasi terus beredar di dunia maya. Salah satu video yang ramai berseliweran adalah pernyataan politikus Dharma Pongrekun soal dampak negatif vaksin terhadap anak.
ADVERTISEMENT
Dalam video yang diunggah oleh “ibudzqarius” (arsip) di Tiktok, terlihat mantan calon Gubernur DKI Jakarta, Dharma Pongrekun, sedang mengisi sebuah seminar. Ia mengatakan kalau vaksin mempunyai efek samping serius, seperti menyebabkan autisme, meningitis, polio, hingga autoimun.
let gpt_inline2 = window.googletag || {cmd: []};gpt_inline2.cmd.push(function() {gpt_inline2.defineSlot('/22201407306/tirto-desktop/inline-2', [[336, 280], [300, 250]], 'gpt-inline2-passback').addService(gpt_inline2.pubads());gpt_inline2.pubads().enableSingleRequest();gpt_inline2.pubads().collapseEmptyDivs();gpt_inline2.enableServices();gpt_inline2.display('gpt-inline2-passback');});
“Imunisasi, itu berefek kepada kehancuran, kerusakan sel dia sebagai sel atau DNA dari Allah, yang fitrah. Membuat mereka menjadi autis. Membuat mereka jadi kena meningitis, polio, autoimun, dan sebagainya, yang menghasilkan karakter-karakter yang tidak spiritualis lagi,” katanya di video.
#inline3 img{margin: 20px auto;max-width:300px !important;}
let gpt_inline3 = window.googletag || {cmd: []};gpt_inline3.cmd.push(function() {gpt_inline3.defineSlot('/22201407306/tirto-desktop/inline-3', [[336, 280], [300, 250]], 'gpt-inline3-passback').addService(gpt_inline3.pubads());gpt_inline3.pubads().enableSingleRequest();gpt_inline3.pubads().collapseEmptyDivs();gpt_inline3.enableServices();gpt_inline3.display('gpt-inline3-passback');});
#gpt-inline3-passback{text-align:center;}
Periksa Fakta Vaksin Sebabkan Autisme. foto/hotline periksa fakta tirto
#inline4 img{max-width:300px !important;margin:20px auto;}
let gpt_inline4 = window.googletag || {cmd: []};gpt_inline4.cmd.push(function() {gpt_inline4.defineSlot('/22201407306/tirto-desktop/inline-4', [[336, 280], [300, 250]], 'gpt-inline4-passback').addService(gpt_inline4.pubads());gpt_inline4.pubads().enableSingleRequest();gpt_inline4.pubads().collapseEmptyDivs();gpt_inline4.enableServices();gpt_inline4.display('gpt-inline4-passback');});
#gpt-inline4-passback{text-align:center;}
Sejak diunggah pada 14 September 2023, video itu sudah meraup 1186 tanda suka, dan dibagikan 455 kali. Video yang sama ditemukan pada akun TikTok “abigail_channeltv”, serta di akun Facebook “_teluuur_”
Lantas, bagaimana faktanya?
ADVERTISEMENT
(GFD-2025-28489) Salah, Vaksin Sebabkan Autisme
Sumber:Tanggal publish: 18/08/2025
Berita
Hasil Cek Fakta
Sebagai informasi, mengutip Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, imunisasi adalah proses di dalam tubuh, dimana seseorang menjadi kebal atau terlindungi dari penyakit tertentu, biasanya lewat pemberian vaksin.
Menukil situs Kemenkes, ada 14 jenis vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin. Antara lain BCG (Bacillus Calmette-Guérin) untuk penyakit tuberkulosis (TB), DPT-Hib untuk penyakit difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b.
Kemudian, imunisasi Hepatitis B, MMR dan MR untuk campak rubella, OPV atau vaksin polio tetes serta IPV dan IPV2 atau vaksin polio suntik, vaksin TT, DT, dan td untuk penyakit difteri tetanus, vaksin Japanese Encephalitis (JE) untuk penyakit radang otak, serta HPV, PCV, dan Rotavirus.
Kembali pada pembahasan klaim video, Pongrekun menyoroti bahwa imunisasi pada anak dapat menyebabkan autisme. Untuk membuktikan klaim Pongrekun, Tirto menelusuri berbagai penelitian ilmiah yang secara khusus membahas kaitan antara imunisasi dan Autism Spectrum Disorder (ASD).
Berbagai studi justru menunjukkan tidak ada bukti hubungan keduanya. Misalnya, penelitian Hornig M, dkk. (2008) yang menganalisis sampel jaringan usus besar untuk mendeteksi RNA Virus Campak. Dari 25 anak dengan autisme dan 13 anak bukan autisme sebagai kelompok kontrol, masing-masing hanya satu anak yang ditemukan memiliki RNA Virus Campak. Artinya, tidak ada korelasi antara vaksin campak dengan autisme.
Begitu juga riset Kreesten Meldgaard Madsen, dkk. (2002) yang melibatkan lebih dari 537 ribu anak dalam rentang tahun 1991-1998. Hasilnya, tidak ditemukan kaitan antara usia saat vaksinasi, jarak waktu sejak vaksinasi, maupun tanggal pemberian vaksin dengan ASD.
Penelitian lain oleh Richler J, dkk. (2006) yang melibatkan 351 anak dengan ASD juga menegaskan hal serupa. Mereka mencatat bahwa tidak ada hubungan antara ASD dengan imunisasi.
Adapun kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), melansir Ayo Sehat Kemenkes, berupa gejala ringan yang biasanya akan sembuh dalam 1-2 hari tanpa diberi obat, berupa reaksi lokal maupun sistemik.
Reaksi lokal merupakan gejala-gejala yang muncul di area tubuh yang disuntik, seperti nyeri, kemerahan, dan pembengkakan. Sementara reaksi sistemik berupa sakit kepala, demam, merasa lemas, dan tidak enak badan setelah pemberian vaksin.
Dalam kasus yang jarang, KIPI berat dapat muncul akibat reaksi sistem imun terhadap vaksin. Kondisi ini bisa berupa alergi berat (anafilaksis), penurunan trombosit, kejang, maupun otot melemah. Namun, seluruh gejala tersebut bisa ditangani sehingga tidak menimbulkan dampak jangka panjang bagi kesehatan.
KIPI dapat diminimalisir dengan menghindarkan anak dari melakukan aktivitas berat sebelum imunisasi untuk mengurangi rasa lelah setelah penyuntikan. Kemudian, hindari anak dari paparan panas yang berlebihan seperti mandi air panas atau berada di ruangan yang terlalu panas.
Jangan menekan atau menggosok bekas suntikan dan area di sekitarnya untuk mencegah terjadinya peradangan dan infeksi. Terakhir, jika ingin memberi anak obat atau suplemen setelah imunisasi, harap dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter.
Lebih lanjut, Dokter Andreas Wilson Setiawan, M.Kes juga menyatakan bahwa secara ilmiah tidak ada kaitan antara pemberian vaksin dengan kejadian autisme. Ia menekankan pentingnya memahami terlebih dahulu apa itu autisme dan apa saja penyebab dari kondisi tersebut.
Menurut Andreas, berdasarkan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III), autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang muncul sebelum usia tiga tahun. Gangguan ini ditandai dengan masalah dalam interaksi sosial, komunikasi, serta perilaku yang terbatas dan berulang.
“Autisme sendiri terdiri dari tiga area kelainan utama,” jelasnya.
Pertama, interaksi sosial, seperti kesulitan membangun dan mempertahankan hubungan, kurangnya kontak mata, hingga kesulitan memahami emosi orang lain. Kedua, komunikasi, yang mencakup keterlambatan bicara, kesulitan memahami bahasa, hingga kesulitan membaca bahasa tubuh atau ekspresi wajah. Ketiga, perilaku, misalnya minat obsesif pada benda tertentu, gerakan tubuh yang berulang, atau rutinitas yang kaku.
dr. Andreas menambahkan bahwa penyebab autisme bersifat multifaktorial. Faktor genetik dan epigenetik berperan melalui fungsi sinapsis dan neurotransmisi di otak. Di sisi lain, faktor non-genetik juga dapat berpengaruh, seperti paparan logam berat atau bahan kimia dalam makanan dan air minum, serta paparan obat-obatan tertentu selama kehamilan, misalnya asam valproat dan thalidomide.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa isu vaksin menyebabkan autisme berawal dari sebuah artikel tahun 1998 di jurnal The Lancet yang ditulis Andrew Wakefield. “Penelitian itu mengklaim adanya hubungan antara vaksin MMR dan autisme, tetapi terbukti cacat metodologi, hanya menggunakan 12 anak sebagai sampel, serta penuh konflik kepentingan dan manipulasi data,” terang Andreas.
Artikel tersebut kemudian ditarik kembali, dan Wakefield kehilangan izin praktik medisnya.
Menukil situs Kemenkes, ada 14 jenis vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin. Antara lain BCG (Bacillus Calmette-Guérin) untuk penyakit tuberkulosis (TB), DPT-Hib untuk penyakit difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b.
Kemudian, imunisasi Hepatitis B, MMR dan MR untuk campak rubella, OPV atau vaksin polio tetes serta IPV dan IPV2 atau vaksin polio suntik, vaksin TT, DT, dan td untuk penyakit difteri tetanus, vaksin Japanese Encephalitis (JE) untuk penyakit radang otak, serta HPV, PCV, dan Rotavirus.
Kembali pada pembahasan klaim video, Pongrekun menyoroti bahwa imunisasi pada anak dapat menyebabkan autisme. Untuk membuktikan klaim Pongrekun, Tirto menelusuri berbagai penelitian ilmiah yang secara khusus membahas kaitan antara imunisasi dan Autism Spectrum Disorder (ASD).
Berbagai studi justru menunjukkan tidak ada bukti hubungan keduanya. Misalnya, penelitian Hornig M, dkk. (2008) yang menganalisis sampel jaringan usus besar untuk mendeteksi RNA Virus Campak. Dari 25 anak dengan autisme dan 13 anak bukan autisme sebagai kelompok kontrol, masing-masing hanya satu anak yang ditemukan memiliki RNA Virus Campak. Artinya, tidak ada korelasi antara vaksin campak dengan autisme.
Begitu juga riset Kreesten Meldgaard Madsen, dkk. (2002) yang melibatkan lebih dari 537 ribu anak dalam rentang tahun 1991-1998. Hasilnya, tidak ditemukan kaitan antara usia saat vaksinasi, jarak waktu sejak vaksinasi, maupun tanggal pemberian vaksin dengan ASD.
Penelitian lain oleh Richler J, dkk. (2006) yang melibatkan 351 anak dengan ASD juga menegaskan hal serupa. Mereka mencatat bahwa tidak ada hubungan antara ASD dengan imunisasi.
Adapun kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), melansir Ayo Sehat Kemenkes, berupa gejala ringan yang biasanya akan sembuh dalam 1-2 hari tanpa diberi obat, berupa reaksi lokal maupun sistemik.
Reaksi lokal merupakan gejala-gejala yang muncul di area tubuh yang disuntik, seperti nyeri, kemerahan, dan pembengkakan. Sementara reaksi sistemik berupa sakit kepala, demam, merasa lemas, dan tidak enak badan setelah pemberian vaksin.
Dalam kasus yang jarang, KIPI berat dapat muncul akibat reaksi sistem imun terhadap vaksin. Kondisi ini bisa berupa alergi berat (anafilaksis), penurunan trombosit, kejang, maupun otot melemah. Namun, seluruh gejala tersebut bisa ditangani sehingga tidak menimbulkan dampak jangka panjang bagi kesehatan.
KIPI dapat diminimalisir dengan menghindarkan anak dari melakukan aktivitas berat sebelum imunisasi untuk mengurangi rasa lelah setelah penyuntikan. Kemudian, hindari anak dari paparan panas yang berlebihan seperti mandi air panas atau berada di ruangan yang terlalu panas.
Jangan menekan atau menggosok bekas suntikan dan area di sekitarnya untuk mencegah terjadinya peradangan dan infeksi. Terakhir, jika ingin memberi anak obat atau suplemen setelah imunisasi, harap dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter.
Lebih lanjut, Dokter Andreas Wilson Setiawan, M.Kes juga menyatakan bahwa secara ilmiah tidak ada kaitan antara pemberian vaksin dengan kejadian autisme. Ia menekankan pentingnya memahami terlebih dahulu apa itu autisme dan apa saja penyebab dari kondisi tersebut.
Menurut Andreas, berdasarkan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III), autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang muncul sebelum usia tiga tahun. Gangguan ini ditandai dengan masalah dalam interaksi sosial, komunikasi, serta perilaku yang terbatas dan berulang.
“Autisme sendiri terdiri dari tiga area kelainan utama,” jelasnya.
Pertama, interaksi sosial, seperti kesulitan membangun dan mempertahankan hubungan, kurangnya kontak mata, hingga kesulitan memahami emosi orang lain. Kedua, komunikasi, yang mencakup keterlambatan bicara, kesulitan memahami bahasa, hingga kesulitan membaca bahasa tubuh atau ekspresi wajah. Ketiga, perilaku, misalnya minat obsesif pada benda tertentu, gerakan tubuh yang berulang, atau rutinitas yang kaku.
dr. Andreas menambahkan bahwa penyebab autisme bersifat multifaktorial. Faktor genetik dan epigenetik berperan melalui fungsi sinapsis dan neurotransmisi di otak. Di sisi lain, faktor non-genetik juga dapat berpengaruh, seperti paparan logam berat atau bahan kimia dalam makanan dan air minum, serta paparan obat-obatan tertentu selama kehamilan, misalnya asam valproat dan thalidomide.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa isu vaksin menyebabkan autisme berawal dari sebuah artikel tahun 1998 di jurnal The Lancet yang ditulis Andrew Wakefield. “Penelitian itu mengklaim adanya hubungan antara vaksin MMR dan autisme, tetapi terbukti cacat metodologi, hanya menggunakan 12 anak sebagai sampel, serta penuh konflik kepentingan dan manipulasi data,” terang Andreas.
Artikel tersebut kemudian ditarik kembali, dan Wakefield kehilangan izin praktik medisnya.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta oleh Tirto, pernyataan yang menyebut imunisasi dapat menyebabkan autisme tidak didukung bukti ilmiah.
Sejumlah penelitian berskala besar justru membuktikan tidak ada kaitan antara vaksin dengan Autism Spectrum Disorder maupun penyakit lain, sebagaimana diklaim.
KIPI memang mungkin terjadi, namun umumnya ringan, dapat ditangani, dan tidak menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang. Sementara KIPI berat sangat jarang ditemukan serta bisa dikendalikan dengan penanganan medis yang tepat.
Dokter Andreas Wilson Setiawan, M.Kes juga menyatakan bahwa secara ilmiah tidak ada kaitan antara pemberian vaksin dengan kejadian autisme.
Maka, klaim yang disampaikan dalam video tersebut salah dan menyesatkan (false & misleading).
==
Artikel ini telah ditinjau oleh dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Sejumlah penelitian berskala besar justru membuktikan tidak ada kaitan antara vaksin dengan Autism Spectrum Disorder maupun penyakit lain, sebagaimana diklaim.
KIPI memang mungkin terjadi, namun umumnya ringan, dapat ditangani, dan tidak menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang. Sementara KIPI berat sangat jarang ditemukan serta bisa dikendalikan dengan penanganan medis yang tepat.
Dokter Andreas Wilson Setiawan, M.Kes juga menyatakan bahwa secara ilmiah tidak ada kaitan antara pemberian vaksin dengan kejadian autisme.
Maka, klaim yang disampaikan dalam video tersebut salah dan menyesatkan (false & misleading).
==
Artikel ini telah ditinjau oleh dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Rujukan
- https://www.tiktok.com/@ibudzqarius/video/7278499839904697605?_r=1&_t=ZS-8yull6JSbqC
- https://archive.ph/WlbfF
- https://aurum.tirto.id/gold/ck.php?oaparams=2__bnnid=2165__znnid=318__cb=9c6a1e2506__oadest=
- https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fdiajeng
- https://aurum.tirto.id/gold/ck.php?oaparams=2__bnnid=2104__znnid=319__cb=35a02c82f5__oadest=
- https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fnews%2Fmozaik
- https://www.tiktok.com/@abigail_channeltv/video/7263485982928833797?q=pongrekun%20imunisasi%20autis&t=1755399895300
- https://www.facebook.com/share/r/19fr5ZUbqJ/
- https://pusatkrisis.kemkes.go.id/apa-pengertian-dari-vaksin-vaksinasi-imunisasi-dan-imunitas
- https://kemkes.go.id/id/95-persen-anak-harus-dapat-imunisasi-cek-yuk-3-jenis-antigen-baru
- https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18769550/
- https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12421889/
- https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16729252/
- https://ayosehat.kemkes.go.id/apa-itu-kipi
- https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9500320/