(GFD-2024-21791) Sebagian Benar, Klaim tentang Badai Matahari dan Dampaknya pada Internet
Sumber:Tanggal publish: 12/08/2024
Berita
Sebuah akun Facebook [ arsip ] mengunggah sebuah video yang tentang badai matahari terbesar yang diprediksi akan muncul pada tahun 2025.
Video ini memuat fragmen gambar dua presenter TV yang menyampaikan berita “Kemungkinan munculnya pada matahari tahun 2025 memungkinkan manusia di bumi dapat kehilangan akses internet selama berbulan-bulan jika sambungan internet gagal dalam skala besar bagi konsekuensinya bisa sangat merugikan kemungkinan munculnya pada imat hari di tahun 2025 memungkinkan manusia di bumi dapat kehilangan akses internet selama berbulan-bulan…”.
Sejak diunggah, video ini telah mendapatkan 13, 1 ribu suka, 2,1 ribu komentar dan dibagikan 11 ribu kali oleh pengguna Facebook. Benarkah badai matahari akan terjadi pada 2025 dan mengakibatkan kegagalan akses internet?
Hasil Cek Fakta
Tim Cek Fakta Tempo memverifikasi video ini dengan menelusuri sumber asli menggunakan Yandex Image. Klaim dalam video ini kami analisis dengan sumber terbuka dan pernyataan ilmuwan.
Berdasarkan penelusuran, video tersebut identik dengan tayangan IDX Channel, yang diunggah di YouTube pada 7 Juli 2023 dengan judul “Prediksi Badai Matahari 2025, Internet Terancam Kolaps”. Dalam siaran ini, presenter menyampaikan informasi tentang kemungkinan munculnya badai matahari di Tahun 2025. Dampaknya, bumi dapat kehilangan akses internet selama berbulan-bulan dan jika sambungan internet gagal dalam skala besar maka konsekuensinya bisa sangat merugikan.
Tentang Badai Matahari (Sun Strom)
Dilansir National Center for Families Learning, badai matahari (sun strom) atau badai radiasi matahari adalah istilah yang digunakan untuk efek atmosfer yang dirasakan di bumi akibat dari peristiwa yang terjadi di matahari. Badai matahari terjadi ketika matahari memancarkan semburan energi yang sangat besar dalam bentuk jilatan atau suar dan lontaran massa korona. Fenomena ini mengirimkan aliran muatan listrik dan medan magnet ke arah bumi dengan kecepatan sekitar tiga juta mil per jam.
Laman Space Weather Prediction Center menuliskan bahwa lontaran massa korona dan suar matahari pada badai radiasi matahari (solar radiation storms) mempercepat laju partikel bermuatan seperti proton. Saat ini terjadi, proton melintasi 150 juta km dari matahari ke Bumi hanya dalam waktu kurang dari 10 menit. Saat sampai di bumi, proton yang bergerak cepat ini menembus magnetosfer yang melindungi bumi dari partikel bermuatan energi. Begitu berada di dalam magnetosfer, partikel-partikel tersebut menyusuri garis medan magnet dan menembus atmosfer di dekat kutub utara dan selatan.
Badai Radiasi Matahari menyebabkan beberapa dampak di dekat bumi. Saat proton bermuatan bertabrakan dengan satelit atau manusia di luar angkasa, mereka dapat menembus jauh ke dalam objek yang ditabraknya dan menyebabkan kerusakan pada sirkuit elektronik atau DNA biologis.
Dalam badai radiasi matahari ekstrem, penumpang dan awak pesawat yang terbang tinggi di garis lintang tinggi dapat terpapar risiko radiasi. Selain itu, ketika proton energik bertabrakan dengan atmosfer, mereka mengionisasi atom dan molekul sehingga menciptakan elektron bebas. Elektron-elektron ini menciptakan lapisan di dekat bagian bawah ionosfer yang dapat menyerap gelombang radio Frekuensi Tinggi (HF) sehingga komunikasi radio menjadi sulit atau tidak mungkin.
Pada 9 Desember 2019, panel NOAA dan NASA merilis prediksi Siklus Matahari 25 yaitu periode ketika aktivitas matahari meningkat dan jilatan api matahari menjadi lebih sering terjadi akan mencapai puncaknya pada bulan Juli 2025. Hal ini mengakibatkan bumi akan mengalami badai matahari dan cuaca antariksa yang lebih intens pada tahun 2025.
Ketua Panel dan Fisikawan Matahari di Pusat Prediksi Cuaca Antariksa NOAA, Doug Biesecker, Ph.D., menyatakan bahwa seberapa cepat peningkatan aktivitas matahari merupakan indikator seberapa kuat siklus matahari nantinya.
Menurut Biesecker, selama delapan bulan terakhir, aktivitas matahari terus meningkat, mengindikasikan bahwa kita telah memasuki Siklus Matahari 25. Siklus Matahari 25 diperkirakan akan menjadi siklus yang cukup lemah, kekuatannya sama dengan siklus 24.
"Meskipun kami tidak memprediksi Siklus Matahari 25 akan sangat aktif, namun letusan dahsyat dari Matahari bisa terjadi kapan saja," jelas Biesecker.
Prediksi siklus matahari ini memberikan gambaran tentang frekuensi badai cuaca antariksa, mulai dari pemadaman radio hingga badai geomagnetik dan badai radiasi matahari.
Johan Muhamad, Peneliti Ahli Madya, Koordinator Kelompok Riset Matahari dan Aktivitasnya, Pusat Riset Antariksa, BRIN kepada Tempo mengatakan fenomena badai bukan fenomena istimewa karena kerap terjadi.
“Pada tahun 2024 ini saja sekurang-kurangnya sudah terjadi 36 kali badai matahari dengan skala tertinggi, flare kelas-X,” kata Johan.
Ia juga menjelaskan, dalam berapa kasus, CME yang besar dapat sampai ke bumi dan memberikan dampak pada kondisi geomagnet bumi dan lingkungan sekitar bumi.
“Beberapa dampak flare dan CME yang besar diantaranya mengganggu komunikasi radio HF, gangguan sinyal GPS yang dapat mengurangi akurasi penggunaan GPS, gangguan operasional satelit di orbit, gangguan pada jaringan listrik terrestrial, dan teknologi lainnya terutama yang berbasis teknologi antariksa,” lanjutnya.
Namun, kasus-kasus ini sangat jarang terjadi, biasanya lebih dirasakan oleh mereka yang tinggal di daerah lintang tinggi atau sekitar kutub Bumi. Pada tahun 1989, badai matahari kuat yang memicu munculnya arus induksi geomagnet menyebabkan kerusakan jaringan listrik di Quebec, Kanada. Akibat gangguan ini menyebabkan pemadaman listrik selama 9 jam.
“Berdasarkan catatan kami, tidak pernah ada badai Matahari yang menyebabkan rusaknya jaringan internet dan listrik sampai berbulan-bulan. Namun, kasus seperti ini sangat jarang terjadi dan biasanya terjadi di daerah lintang tinggi,” lanjut Johan.
Untuk wilayah Indonesia, dampak langsung badai matahari ekstrem kemungkinan tidak akan signifikan karena Indonesia terletak di wilayah ekuator.
“Kemungkinan dampak langsung terbesar di wilayah Indonesia jika terjadi badai Matahari ekstrem adalah adanya gangguan sinyal komunikasi HF dan berkurangnya akurasi GPS,” tegasnya.
Dilansir BBC Science Focus, jika CME (Coronal Mass Ejections) saat badai matahari bergerak dengan kecepatan hingga 11.000.000 kilometer per jam, dan matahari menembakkan sebanyak 20 kali dalam seminggu, akan merusak peralatan elektronik pada satelit yang mengorbit, mengganggu sistem navigasi dan komunikasi, serta sinkronisasi waktu GPS yang menjadi tumpuan fungsi internet. Juga menciptakan lonjakan radiasi elektromagnetik di atmosfer yang menyebabkan pemadaman listrik.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan video dan klaim badai matahari 2025 akan hilangkan akses internet adalah sebagian benar.
Badai matahari merupakan fenomena yang biasa terjadi. Puncak siklus matahari diperkirakan terjadi pada tahun 2025, namun badai matahari semakin sering terjadi pada tahun 2024. Namun mereka mengingatkan badai matahari dapat terjadi kapan saja.
Jika badai matahari maksimum terjadi, akan menyebabkan kerusakan peralatan elektronik pada satelit yang mengorbit, mengganggu sistem navigasi dan komunikasi, serta sinkronisasi waktu GPS yang menjadi tumpuan fungsi internet. Hal ini juga akan menciptakan lonjakan radiasi elektromagnetik di atmosfer, yang menyebabkan transformator listrik terbakar. Itu artinya akan terjadi pemadaman listrik dalam waktu tertentu.
Rujukan
- https://www.facebook.com/reel/1691215144748408
- https://www.idxchannel.com/about-us
- https://www.youtube.com/watch?v=2v4qN-1YB4w
- https://www.wonderopolis.org/wonder/what-is-a-solar-storm/
- https://www.swpc.noaa.gov/phenomena/solar-radiation-storm
- https://www.weather.gov/news/201509-solar-cycle#:~:text=Solar%20maximum%20is%20expected%20in,NOAA's%20Space%20Weather%20Prediction%20Center.
- https://www.sciencefocus.com/science/could-a-solar-storm-take-down-the-internet
- https://wa.me/6281315777057 mailto:cekfakta@tempo.co.id