(GFD-2024-21514) Keliru, IDI Peringatkan Adanya Wabah Pengerasan Otak dan Sumsum Tulang Belakang, Serta Diabetes

Sumber:
Tanggal publish: 30/07/2024

Berita



Sebuah narasi beredar di Facebook akun ini, ini, ini, ini, dan ini berisi klaim bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memperingatkan tentang munculnya wabah pengerasan otak, diabetes, serta pengerasan sumsum tulang belakang.

Agar terhindar dari wabah tersebut, menurut pesan berantai, masyarakat harus menjauhi 19 jenama minuman dalam kemasan, baik yang masih berupa serbuk atau yang sudah siap minum.

Jenama-jenama itu adalah Extra Joss, M-150, Kopi Susu Gelas (Granita), Kiranti, Krating Daeng, Hemaviton, Neo Hemaviton, Marimas, Segar Sari sachet, Frutillo, Pop Ice, Segar Dingin Vit. C, Okky Jelly Drink, Inaco, Gatorade, Nabati, Adem Sari, Naturade Gold, dan Aqua Splash Fruit.



Namun, benarkah IDI menyampaikan pengumuman tersebut?

Hasil Cek Fakta



Dilansir Tempo, narasi tersebut telah beredar setidaknya sejak tahun 2010 melalui pesan singkat (SMS) dan BlackBerry Messenger. Namun, sesungguhnya Ketua Umum IDI saat itu, Priyo Sidipratomo, telah membantahnya. "Itu SMS bukan dari IDI," kata Priyo pada Tempo.

Priyo juga menjelaskan, dokter yang disebut dalam narasi yang beredar, tidak mengatakan pernyataan tersebut. Namun namanya dicatut tanpa izin dan dituliskan dalam narasi. Bantahan IDI juga disampaikan sejak tahun 2010 di website mereka, Idionline.org.

Terkait penggunaan aspartame atau aspartam sebagai pemanis buatan dalam produk makanan dan minuman, Priyo menyatakan hal itu berdasarkan izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Sementara BPOM dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat itu menyatakan aspartam aman dikonsumsi bila jumlahnya di bawah ambang batas konsumsi, yakni 600 mg/kg produk (aturan Codex).

Demikian juga yang disampaikan Ketua IDI periode 2012 - 2015, Zaenal Abidin, saat narasi tersebut kembali beredar pada tahun 2013, sebagaimana diberitakan Detik.com. Ia menyatakan IDI tidak mengeluarkan pernyataan seperti dalam narasi.

Dia juga menyatakan bahwa narasi tersebut tidak perlu dipercaya karena merupakan bagian persaingan bisnis yang terjadi saat itu. Selain itu, IDI tidak akan menyebarkan informasi secara sembarangan atau tidak resmi seperti tulisan narasi yang beredar.

"Berita ini tidak pernah dikeluarkan oleh pihak IDI, namun masih saja banyak yang percaya akan berita tersebut. Setiap berita yang dikeluarkan oleh IDI harus ditandatangani oleh Ketua IDI dan pengurus organisasi besar IDI," kata Zainal.

Tingkat Risiko Aspartam

Dilansir Tempo, aspartam merupakan pemanis buatan yang banyak digunakan dalam produk makanan. Selain tingkat kemanisannya yang 200 kali lebih tinggi dibandingkan gula dan tidak mengandung kalori.

Di bagian ingredients atau keterangan bahan pada kemasan produk makanan, biasanya aspartam dituliskan dengan kode 951. Sementara nama populer lainnya adalah equal, nutrasweet, canderel dan sugar twin.

Badan Pangan PBB (WHO) menyatakan aspartam mungkin bersifat karsinogenik alias bisa menimbulkan penyakit kanker. Di sisi lain, banyak negara memperbolehkan peredaran produk makanan mengandung aspartam, dengan pembatasan jumlah tertentu.

Misalnya Australia menetapkan aspartam yang boleh dikonsumsi manusia ialah 40 miligram per kilogram berat badan orang tersebut. Jumlah itu setara 60 saset. Di Amerika Serikat, batas maksimalnya 75 saset.

Sementara di Indonesia batas maksimalnya 600 mg/kg produk (aturan Codex). Pada umumnya, aspartam dinilai aman dikonsumsi bila jumlahnya tidak berlebihan. Selain itu, harus diwaspadai munculnya efek samping kecanduan gula pada orang-orang tertentu.

Kesimpulan



Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan IDI mengumumkan adanya wabah pengerasan otak, diabetes, dan pengerasan sumsum tulang belakang, serta melarang konsumsi 19 produk minuman adalah klaim keliru.

Dua pimpinan IDI telah membantah narasi yang beredar sejak 2010 tersebut. Selain itu, pada umumnya aspartam yang dipermasalahkan dalam narasi yang beredar tersebut, dianggap aman dikonsumsi dalam batas jumlah tertentu.

Rujukan