(GFD-2024-21093) CEK FAKTA: Benarkah Tidak Ada Perampasan Tanah dalam Pembangunan IKN?

Sumber:
Tanggal publish: 12/07/2024

Berita

KOMPAS.com - Pelaksana tugas Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Basuki Hadimuljono mengeklaim, tidak ada perampasan tanah masyarakat dalam pembangunan IKN.

"Perampasan apa? Apa itu perampasan? Enggak ada. Enggak ada istilah itu," kata Basuki di Kompleks Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (6/6/2024), dilansir Kompas.com.

Pernyataan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu disampaikan dalam menanggapi tudingan soal adanya perampasan tanah warga.

"Bukan membantah. Saya enggak ngerti itu, enggak ada istilah perampasan," ujar dia.

Sebelumnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengungkapkan, masyarakat yang terdampak pembangunan IKN dan infrastruktur penunjang mengalami intimidasi ketika lahan mereka dibeli pihak Otorita.

Dinamisator Jatam Merita Sari mengatakan, lahan milik masyarakat di lokasi pembangunan diambil pihak Otorita IKN dengan berbagai cara sepanjang 2022-2023.

“Diajak bernegosiasi tapi harganya sudah ditentukan. Misalnya, dari Rp 100.000 menjadi Rp 70.000 per meter persegi,” kata Merita dalam diskusi yang disiarkan melalui YouTube Sahabat Indonesia Corruption Watch (ICW), Rabu (5/6/2024).

Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono membantah pernyataan Basuki. Ia mengatakan, terdapat empat poin yang dapat dijadikan dasar untuk memaknai perampasan lahan di IKN.

Pertama, dari sisi historis. Lahan di IKN terdiri atas Hutan Tanaman Industri (HTI) dan izin konsesi lainnya.

"Coba kita cek, tanah-tanah itu dari mana, statusnya apa, mayoritas HTI. Artinya bukan dari wilayah kosong. Ada konsesi dan izin-izin yang tidak bersih-bersih amat (ada konflik dengan masyarakat)," ujar Eko.

Konsesi merupakan pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah kepada instansi pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain.

Eko menuturkan, banyak lahan di IKN sudah dikuasai mafia atau pemegang konsesi lahan bersifat HTI, sehingga bisa ditarik sewaktu-waktu oleh pemerintah tanpa kompensasi.

Misalnya, berdasarkan catatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, sebanyak 282 bidang yang dikelola masyarakat di Kelurahan Pemaluan, Sepaku, dan Penajam Paser Utara.

Total luas yang dikuasai masyarakat hanya sebesar 680 hektare atau setara 9,71 persen dari total lahan konsesi. Kawasan IKN mencapai 180.965 hektare bukanlah ruang kosong.

Berdasarkan catatan JATAM, terdapat 162 konsesi pertambangan, kehutanan, sawit, PLTU batu bara, hingga properti.

Sebanyak 158 dari 162 konsesi tersebut merupakan konsesi batu bara yang masih menyisakan 94 lubang tambang menganga.

Kedua, dampak tidak langsung. Pembangunan besar-besaran di IKN berpotensi menyingkirkan masyarakat adat, marjinal, dan miskin di sekitar IKN. Perampasan tanah perlu dilihat dari sudut pandang yang akan datang.

IKN punya dampak tidak langsung, yaitu membuat tanah-tanah "diobral" atau ditawarkan sebagai hak guna usaha (HGU) dengan pengurangan atau bahkan tanpa pajak, dan punya konsesi 180 tahun.

Menurut Eko, ini merupakan perampasan tidak langsung, karena yang bisa membeli hanya yang bermodal besar.

Ketiga, dampak turunan lainnya, seperti munculnya mafia tanah (broker atau spekulan tanah) yang sekarang menguasai tanah-tanah strategis di IKN. Mereka bisa bekerja dengan cara-cara manipulatif dan bahkan tidak diketahui siapa orangnya.

Keempat, perampasan ruang hidup. Eko mengatakan, hubungan manusia dengan tanah bersifat kompleks.

Sering kali pemerintah hanya melihat hubungan manusia dengan tanah secara ekonomi semata yang selesai dengan ganti rugi.

Padahal, kerusakan hutan dan alam masyarakat akibat pembangunan bukan semata menghilangkan sumber ekonomi masyarakat, tetapi juga merusak ruang hidup.

Masyarakat tidak hanya takut kehilangan tanah tapi kehilangan identitas sejarah mereka.

Bentuk ancaman serius perampasan ruang hidup di sekitar IKN terjadi pada Masyarakat Balik di Kecamatan Sepaku, yang wilayah adatnya masuk proyek IKN.

“Hanya karena jumlah suku Balik tidak banyak, pendapat mereka tidak dianggap, bahkan tidak diajak ngomong. Padahal setiap individu punya hak dasar yang harus dilindungi. Apalagi mereka punya sejarah panjang,” kata Eko.

Pendapat senada disampaikan mahasiswa doktoral di IPB University dan Dosen Sosiologi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Nikodemus Niko.

Nikodemus menyebutkan, perubahan-perubahan dalam ruang hidup seringkali mengakibatkan hilangnya cara hidup tradisional dan praktik budaya asli masyarakat adat.

Berdasarkan catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim pada 2022 menunjukkan, sejak ditetapkan sebagai IKN, muncul banyak perampasan tanah secara sepihak oleh negara maupun perusahaan pemegang izin dari negara, bahkan di wilayah adat.

Terdapat tujuh prinsip keamanan manusia atau human security yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

IKN dinilai belum memenuhi ketujuh kategorinya, yakni keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan personal, keamanan komunitas, keamanan politik.

Berdasarkan riset BRIN pada 2023, pemerintah belum secara serius memenuhi tujuh prinsip keamanan manusia bagi masyarakat adat dan lokal atas pembangunan IKN.

Pasal 15A ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara menyebutkan, tanah di IKN terdiri atas barang milik negara, barang milik Otorita IKN, tanah milik masyarakat, dan tanah negara.

Tidak ada bunyi klausul tanah adat di dalam UU tersebut. Akibatnya, masyarakat adat akan rentan digusur karena tidak memiliki hak atas tanah. Padahal, masyarakat adat telah mengelola lahan tersebut sejak ratusan tahun.

Pembangunan IKN berpotensi menciptakan ketimpangan sosial dan potensi konflik horizontal.

Berdasarkan kesaksian Eko, beberapa warga mengeluh karena sudah puluhan tahun minta jalan, air dan listrik, juga akses pendidikan, dan kesehatan, tetapi tidak pernah digubris.

Sementara "calon pendatang" yang akan menghuni IKN, telah disediakan layanan publiknya, seperti jalan, rumah, air bersih, kesehatan, dan sebagainya.

Secara sosiologis, hal ini akan menjadi bara dalam sekam apabila tidak ada sensitivitas atas ketimpangan sosial-ekonomi dan agraria di sekitar IKN.

***

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Hasil Cek Fakta

Rujukan