(GFD-2024-20674) Keliru, Klaim Prabowo Soal Biaya Kuliah Terjangkau oleh Semua Rakyat Kecil saat Orde Baru

Sumber:
Tanggal publish: 24/06/2024

Berita



Menteri Pertahanan RI sekaligus presiden terpilih Pemilu 2024, Prabowo Subianto, menyebutkan bahwa sebelum tahun 1998 atau di era Orde Baru, universitas negeri sangat terjangkau oleh rakyat kecil. Pernyataannya ini untuk menanggapi biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) tinggi yang menjadi perbincangan beberapa waktu belakangan.

"Kan dulu begitu. Terus terang saja banyak orang yang selalu mencari-cari, menjelek-jelekkan masa lalu, orde ini, orde itu. Tapi kalau kita lihat sebelum 1998, universitas negeri semua sangat terjangkau oleh rakyat kecil. Anaknya petani bisa jadi insinyur, bisa jadi dokter. Setelah itu terjadi suatu fenomena liberalisasi, semuanya gandrung dengan paham-paham neoliberal, kapitalisme yang menurut saya tak terkendali," kata Prabowo saat sesi tanya jawab dengan Kepala Koresponden Internasional Bloomberg wilayah Asia Tenggara, Haslinda Amin, dalam Forum Ekonomi Qatar di Doha, Kamis, 23 Mei 2024.

Benarkah klaim Prabowo Subianto soal biaya kuliah sebelum tahun 1998 atau Orba terjangkau?

Hasil Cek Fakta



Kandidat doktor di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Muhammad Naufal Waliyuddin menegaskan bahwa pernyataan tersebut cacat logika (logical fallacy), terutama soal Orde Baru (Orba).

Argumen Prabowo mengenai pencapaian Orba yang membuat universitas negeri terjangkau dan anak petani bisa jadi insinyur adalah contoh logical fallacy bernama hasty generalisation. Ini adalah salah satu jenis sesat pikir yang mengambil kesimpulan secara sembrono dengan basis data yang tidak cukup. Sebab, Prabowo tidak menyebutkan rujukan data berapa jumlah anak petani yang di zaman itu yang bisa jadi insinyur dan berapa yang justru gagal masuk kampus.

Faktanya, kenaikan biaya pendidikan tinggi memang tidak seimbang dengan peningkatan gaji masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 1995–2022 tentang data upah lulusan SMA dan universitas serta data biaya studi dari 30 PTN dan PTS selama 2013-2022 menunjukkan temuan menarik. Biaya studi diperkirakan rata-rata akan naik 6,03% per tahun. Spesifiknya, untuk PTN peningkatannya sekitar 1,3% per tahun dan untuk PTS mencapai 6,96%. Sedangkan kenaikan gaji orang tua lulusan SMA hanya sebesar 3,8% per tahun. Disusul kenaikan upah orang tua lulusan universitas yang per tahun hanya 2,7%.

Dengan kata lain, pertumbuhan biaya studi perguruan tinggi semakin ke sini memang semakin mahal dan membebani masyarakat. Akan tetapi, ada tren positif di dalam data tersebut, partisipasi masyarakat ekonomi rendah terhadap pendidikan tinggi meningkat dari 6,82% (2016) menjadi 15,96% (2021).

Peneliti kajian kepemudaan dan keagamaan itu menambahkan bahwa faktor inflasi tidak bisa diabaikan. Salah satu cara untuk melihat perbandingan ialah menggunakan kalkulator inflasi dengan menghitung biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) di era 1980-an dengan nilai rata-rata UKT masa kini.

Pada kurun 1980an, contohnya, rentang SPP berkisar dari Rp120.000 per tahun kemudian menjadi Rp400.000 per tahun selama periode 1990an.

Ketika dihitung berdasarkan inflasi tahunan, angka SPP pertama tersebut setara dengan Rp2,7 juta, dan yang kedua senilai Rp5,5 juta. Angka ini masih jauh dari biaya kuliah per tahun yang secara rata-rata nasional sebesar Rp14,7 juta. Ini menandakan bahwa pendidikan tinggi memang semakin mahal. 

Maka dari itu, Naufal mengingatkan bahwa kondisi ini berisiko menutup peluang bagi masyarakat kelas ekonomi rendah untuk menjangkau pendidikan tinggi jika nilai UKT tidak disiasati secara serius.

Sementara itu, data alokasi rata-rata subsidi pendidikan di era Orba tidak sampai 10% dari APBN. Sedangkan pasca-Reformasi, terutama sejak 2009, subsidi terbesar untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN dan itu termasuk tertinggi di Asia Tenggara.

Di era Orba terdapat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang mematikan aktivisme gerakan mahasiswa era tersebut. Kebijakan ini menjinakkan sekaligus mendepolitisasi anak muda secara sosial politik sehingga universitas menjadi semakin birokratis dan hierarkis, alih-alih kritis terhadap situasi negara dan pemerintahan.

Ini menunjukkan corak utama Orba, yakni politik Orwellian. Politik Orwellian merupakan gambaran negara melakukan pemantauan secara menyeluruh (surveillance), sarat watak otoritarianisme, represif militeristik, dan suara kritis dibungkam secara sistemik. Akibatnya, masyarakat menjadi massa mengambang, sebuah istilah untuk menyebut masyarakat yang semakin tumpul, lemah, dan tidak punya daya tawar di hadapan pemerintah.

Justru Orba, kata Naufal, yang membuka keran liberalisasi dan kapitalisme sejak awal berkuasa, terutama melalui UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang berujung peristiwa Malari 1974—yang efeknya terasa hingga sekarang.

Serangkaian problem ini mementahkan klaim Prabowo mengenai orde pra-1998 yang dianggapnya lebih baik ketimbang masa sekarang. Bagaimanapun, dengan segala keterbatasan yang ada, saat ini Indonesia masih berada dalam iklim demokrasi, bukan atmosfer sosial yang represif dan otoriter ala Orba.

Kesimpulan



Pernyataan Prabowo bahwa universitas negeri sangat terjangkau oleh rakyat kecil saat sebelum tahun 1998 atau era Orde Baru adalah keliru.

Kenaikan biaya pendidikan tinggi memang tidak seimbang dengan peningkatan gaji masyarakat. Pertumbuhan biaya studi perguruan tinggi semakin semakin mahal dan membebani masyarakat.

Selain itu, data alokasi rata-rata subsidi pendidikan di era Orba tidak sampai 10% dari APBN. Sedangkan pasca-Reformasi, terutama sejak 2009, subsidi terbesar untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN dan itu termasuk tertinggi di Asia Tenggara.

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Pan

Rujukan