"Analisis Mulyo Wibisono, Mantan Komandan BAIS Terkait Terorisme di Indonesia
(foto)
Mulyo Wibisono, Mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis, (BAIS), Laksamana Pertama TNI, Purnawirawan
SatuSuaraExpress.com – Mantan Komandan Satgas Intelijen Strategis (BAIS), Laksamana Pertama TNI (Purn) Mulyo Wibisono bicara soal terorisme di Indonesia.
1. Teroris Dipelihara Intelijen untuk Meraup Dollar dari AS
Keberadaan teroris di Indonesia sengaja dipelihara institusi tertentu untuk mendapatkan proyek dari Amerika Serikat (AS).
“Teroris itu sengaja dipelihara institusi tertentu yang mempunyai kemampuan intelijen. Institusi ini mendapatkan keuntungan dengan adanya teroris karena mendapatkan kucuran dana dari AS,” kata Mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis, (BAIS), Laksamana TNI, Purnawirawan, Mulyo Wibisono, Kamis (6/9).
Menurut Mulyo, kemunculan teroris disengaja dengan memprovokasi untuk melakukan kegiatan teror. “Dalam intelijen ini penyusupan itu hal yang biasa. Sebetulnya aparat sudah tahu, tetapi dibiarkan saja. Dan pelaku teroris ini akibat provokasi intelijen,” paparnya.
Kata Mulyo, teroris Solo semakin mencurigakan karena aparat kepolisian menyebutkan para pelakunya melakukan pelatihan di Gunung Merbabu. “Polisi harus mengungkap siapa yang melatih para teroris itu, atau jangan-jangan intelijen sendiri. Menggunakan senjata terlebih lagi umur mereka masih muda itu sangat aneh sekali dan mampu membunuh polisi,” jelasnya.
Kecurigaan Mulyo bertambah, korban aparat kepolisian yang tertembak di Solo tidak diotopsi. “Harusnya korban dari pihak kepolisian diotopsi dan diumumkan ke publik agar masyarakat semakin tahu. Kalau kayak gini semakin menambah kecurigaan,” paparnya.
Ia juga mengatakan, dalam sebuah operasi intelijen itu hal yang biasa membunuh temannya sendiri itu untuk menekankan teroris melakukan perlawanan. “Dalam operasi intelijen itu sudah biasa untuk membunuh temannya sendiri. Dan kejadian di Solo itu ada kemungkinan itu, yang membunuh Densus ya temannya sendiri,” ungkap Mulyo
Kata Mulyo, dari pengakuan warga yang berada di lokasi bahwa Densus langsung memberondong orang-orang yang diduga teroris. “Kalau saya baca di media, ada pengakuan warga di lokasi bahwa orang-orang yang diduga teroris langsung diberondong dan tidak ada perlawanan. Ini yang jarang diungkap di televisi,” pungkasnya.
2. ‘Teroris Tambora dan Depok’, Rekayasa yang Mudah Ditebak
Kemunculan teroris termasuk yang ada di Tambora, Depok dan penemuan bahan peledak Bojong Gede itu merupakan rekayasa pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan kucuran dana baik dari dalam negeri maupun Amerika Serikat.
“Katanya ada teroris dan penemuan bahan peledak itu rekayasa dan mudah ditebak, dan dihubungkan teroris Tambora dengan Depok serta ada surat wasiat hanya fakta rekayasa,” kata Mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis, (BAIS), Laksamana Pertama TNI, Purnawirawan, Mulyo Wibisono kepada itoday, Selasa (11/9).
Kata Mulyo, surat wasiat Thoriq yang ditemukan di Bojong Gede sangat aneh sekali. “Kalau surat wasiat Thoriq ditemukan di rumahnya di Tambora itu logis, kalau ditemukan Bojong Gede aneh juga. Selama ini Thoriq lebih banyak beraktivitas di rumahnya jualan pulsa,” ungkap Mulyo.
Mulyo menerangkan rekayasa ini terlihat dengan adanya orang yang diduga teroris Tambora bernama Thoriq mempunyai bahan peledak di rumahnya.
“Thoriq ini siapa sebenarnya, rumahnya tiba-tiba ada bahan peledak dan dapat melarikan diri dalam beberapa hari, kemudian menyerahkan diri ke polisi dengan membawa pistol. Ini juga tidak masuk akal.Seorang teroris itu lebih suka mati syahid, tetapi kok tiba-tiba menyesal,” ujarnya.
Kata Mulyo, keanehan juga nampak dari keterangan polisi bahwa Thoriq akan merencanakan bom bunuh diri di empat lokasi. “Mau rencanakan bom bunuh diri di bom lokasi, ini juga ngak logis, satu orang kok bisa melakukan bom bunuh diri di empat lokasi. Satu bom bunuh diri saja, sudah meninggal,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan, adanya pengakuan saksi kunci dalam ledakan di Beji, Depok itu layak dipertanyakan. “Apakah saksi kunci ledakan di Beji Depok itu yang mengatakan melihat asap dan menyelamatkan orang-orang di dalam bisa dipercaya. Ini juga harus kritisi,” ujar Mulyo.
Selain itu, menurut Mulyo, dalam operasi intelijen melakukan penyusupan dan pembelokan opini dengan merekayasa fakta itu hal yang biasa. “Pengalaman saya, operasi intelijen dengan melakukan teror dan pembelokkan opini dengan penyusupan ke kelompok-kelompok yang dicurigai teroris maupun membentuk kelompok-kelompok baru. Kalau dulu terlihat rapi, sekarang ini mudah ditebak cara kerjanya,” jelasnya.
Mulya menjelaskan kemunculan terorisme itu upaya untuk memberikan stigma negatif terhadap Islam. “Ini bagian dari perang global dan Indonesia ikut dalam perang global itu, dan memberikan stigma teroris terhadap Islam. Kalau kita lihat berita teroris langsung disebut alumni pesantren tertentu, selanjutnya ada sertifikasi ulama, terus ada apalagi, ya ujung-ujungnya stigma negatif terhadap Islam,” pungkasnya.
3. Penangkapan Terduga Teroris Solo, Upaya Densus 88 Cari Duit ke AS
Penangkapan orang-orang yang diduga teroris di Solo sebagai upaya Densus 88 mencari proyek ke AS.
“Sekarang ini, SBY dalam perjalanan ke AS, dan ada penangkapan orang-orang yang diduga teroris. Ini bukan penangkapan biasa, tetapi mencari momentum agar teroris dianggap masih ada,” kata mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksamana Pertama TNI (Purn) Mulyo Wibisono kepada itoday (22/9).
Kata Mulyo, ketika orang-orang yang diduga teroris ada berarti masih diperlukan biaya untuk pencegahan dan penindakan. “Kalau teroris tidak ada, mereka yang menumpas dan mencegah teroris tidak ada duit dan kerjaan,” ujarnya.
Ia mengkritisi pihak Densus 88 yang menangkap orang-orang yang diduga teroris itu berhubungan dengan perekrutan Poso.
“Densus 88 itu sudah punya data jaringan Poso dan ada yang “disusupkan” di jaringan ini. Artinya mereka yang melakukan perakitan bahan peledak maupun senjata-senjata tak bisa dilepaskan dari orang-orang Densus yang disusupkan. Ini hal biasa dalam operasi intelijen,” papar Mulyo yang sudah malang melintang dalam dunia intelijen.
Kata Mulyo, penangkapan teroris termasuk yang di Surakarta merupakan sandiwara pihak Densus 88. “Penangkapan itu hanya bagian sandiwara yang mudah ditebak dan sedang dijalankan Densus 88. Dan penangkapan ini didramatisir dengan pemusnahan bahan peledak oleh pihak gegana,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan protes yang dilakukan umat Islam terhadap film anti-islam secara besar-besaran bisa menjadi pembenar pihak AS bahwa Islam diidentikan dengan kekerasan dan teroris. “Setelah komunis jatuh, Islam musuh AS, dan teroris itu selalu diidentikan dengan Islam, padahal gerakan teror juga dilakukan agama lain, seperti di Irlandia utara maupun di AS sendiri ada ekstrimis Kristen,” pungkasnya.
SEMOGA BERMANFAAT UNTUK MENAMBAH WAWASAN KITA SEMUA, JADI LAH ORANG YANG CERDAS DAN TAK MUDAH (LATAH) MENUDUH AKAN SESUATU YANG BELUM KITA KETAHUI DENGAN PASTI, TAK ADA SALAHNYA KITA MENGANALISIS DENGAN PENUH HATI-HATI
#ISLAM BUKAN TERORIS, DAN TERRORIS BUKAN ISLAM…!!".
(GFD-2018-104) [DISINFORMASI] Artikel "Analisis Mulyo Wibisono" yang Diedarkan Kembali
Sumber: satusuaraexpress.comTanggal publish: 17/05/2018
Berita
Hasil Cek Fakta
Artikel tersebut dimuat oleh media-media non kredibel pada tahun 2012, dimuat kembali oleh satusuaraexpress(dot)com 4 hari lalu, kemudian diedarkan melalui aplikasi Telegram.