(GFD-2022-10063) [SALAH] MK Legalkan Zina dan LGBT

Sumber: twitter.com
Tanggal publish: 30/06/2022

Berita

Sebuah unggahan beredar di media sosial Twitter, yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan zina dan LGBT di Indonesia. Informasi ini menjadi viral setelah pada tahun 2017 MK menolak permohonan seorang pemohon yang meminta perluasan terhadap pasal zina pada UU.

Hasil Cek Fakta

Namun setelah menelusuri lebih lanjut terkait penolakan terhadap permohonan kepada MK tentang pasal zina, informasi yang diunggah oleh akun Twitter dengan nama @adalah merupakan informasi keliru. Penolakan MK terhadap permohonan pemohon tidak berarti bahwa MK melegalkan zina dan LGBT.

Permohonan yang diajukan kepada MK terkait permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam permohonan tersebut, pemohon meminta MK memperjelas rumusan delik kesusilaan yang diatur dalam ketiga pasal tersebut.

Juru Bicara MK, Fajar Laksono menegaskan, dalam putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah tidak melegalkan perbuatan seksual sejenis.

“Tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan Mahkamah yang menyebut istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender), apalagi dikatakan melegalkannya,” ujar Fajar melalui keterangan tertulisnya, Senin (18/12/2017).

Lima hakim MK berpendapat bahwa pemohon secara tidak langsung telah meminta untuk merumuskan norma baru yang sejatinya merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang (legislatif).

Pada dasarnya, sebagai lembaga yudikatif, MK hanya berwenangan memperluas atau mempersempit norma dalam undang-undang, bukan membuat rumusan norma baru. Terkait permohonan ini, Mahkamah sudah menegaskan agar langkah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk undang-undang untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang delik kesusilaan tersebut.

Kesimpulan

Hasil Periksa Fakta Gabriela Nauli Sinaga (Universitas Sumatera Utara)

Faktanya MK menolak untuk merumuskan norma baru terkait pasal zina yang dimohonkan oleh pemohon. MK sebagai lembaga yudikatif tidak berwenang membuat norma baru. Hal ini berarti permohonan yang ditolak tersebut bukan karena MK kemudian mengizinkan LGTB, namun karena permohonan ini di luar kewenangannya.

Rujukan